SOSIAL POLITIK

Lumpuh, Meli Pergi Pulang Sekolah Harus Digendong Orang Lain

Meli dalam gendongan ayahnya saat hendak pergi berangkat sekolah, foto hendra

Gapura Tasikmalaya ,- Penderitaan panjang Meli Falidatul Fuadah (11) masih belum menemukan jawaban kapan akan berakhir. Anak sulung pasangan Aman Suryaman (38) dan Lia Dahliani (36), harus menghabiskan hari hari dengan keterbatasan yang dimilikinya karena menderita kelumpuhan sehingga tidak bisa berjalan.

Meli yang bercita ingin menjadi dokter kini tercatat sebagai murid kelas IVa MI Nagarakasih 1 Kecamatan Cibeureum, Kota Tasikmalaya. Kelumpuhan yang diderita Meli membuat setiap pergi dan pulang sekolah ia selalu digendong sang ayah. Sesekali ia pun digendong guru jika ayahnya berhalangan menjemput.

Ditemui di rumahnya di Kampung Nagarakasih Kaler, Kelurahan Kersanegara, Cibeureum, Kamis (18/5), pagi, Meli tampak tengah dipakaikan sepatu oleh ibunya. Dia sudah memakai seragam serta tas ransel warna pink kesukaannya menempel di punggung.

Sesudah siap, sang ayah langsung menggendong Meli berangkat sekolah. Tak lupa ia mencium tangan ibu serta adiknya.

“Sejak kecil sudah terlihat ia senang membaca. Walau akhirnya diketahui ia ternyata lumpuh, ia tetap ingin sekolah seperti anak lain,” kata Aman.

Awalnya Aman ragu mendaftarkan Meli ke sekolah terdekat yaitu MI Nagarakasih 1. Tapi ternyata pihak sekolah menyambut dan memberikan dukungan.

“Dejak saat itu Meli sekolah dengan digendong pergi dan pulang sekolah. Tidak terasa sudah lima tahun, sekarang sudah kelas V,” ujar Aman dengan mata berkaca-kaca.

Selama berada di sekolah, Meli tidak merasa minder. Bahkan ia bergaul seperti anak lainnya. Hanya saja ia tak bisa beraktivitas secara leluasa seperti anak lainnya.

“Saya tidak malu. Teman-teman juga baik. Kalau ingin jajan suka diambilin. Saya ingin pintar dan bisa jadi dokter,” kata Meli.

Kepala MI Nagarakasih, Haedar Burhan, mengatakan, sejak awal pihak sekolah mendukung keinginan Meli untuk bersekolah.

“Dia terlihat memiliki semangat belajar serta tingkat kecerdasannya sama dengan yang lain. Yang membuat kami takjub, Meli tidak minder dan dengan keterbatasannya bisa bergaul seperti biasa. Bahkan ketika kelas I pernah menjuarai lomba pidato keagamaan,” ujarnya.

Hal senada dikemukakan wali kelas Meli, Ihat Farihatul Awalin. “Dia paling senang pelajaran Agama dan Bahasa Indonesia karena memang cukup kuat di hafalan. Untuk memudahkanya belajar dan pengawasan, ia sengaja didudukkan di deretan kursi depan. Semua teman sekelas juga perhatian. Siapa saja yang disuruh Meli beli jajajan, pasti mau,” katanya.

Aman mengungkapkan, kelainan kaki Meli mulai terlihat saat usia 1,5 tahun. Saat itu ia baru bisa telungkup.

“Kemudian saya periksakan ke Puskesmas dan kata dokter Meli diduga mengalami kelumpuhan,” ujarnya. Mengetahui itu, Aman dan Lia sempat tak kuasa menahan kesedihan. Namun mereka akhirnya pasrah dan menerima kenyataan.

Dengan keterbatasan ekonomi, Aman yang sehari-harinya ustad dan buruh mebeler ini, berupaya ikhtiar demi kesembuhan Meli. Tidak hanya ke dokter spesialis syaraf tapi juga pengobatan alternatif. Hingga saat ini Aman terus berikhtiar agar Meli bisa jalan. Tapi masih belum membawa hasil.

“Saya berharap pemerintah ikut membantu kesembuhan Meli,” ujar Aman. Selain itu, untuk menopang kegiatan sehari-hari, ia ingin membeli kursi roda tapi tidak memiliki dana cukup. Karena untuk kebutuhan sehari-hari saja keteteran.

Anak kedua Aman,  Irsyadul Husni (2,5), juga memperlihatkan gejala sama. Saat ini ia baru bisa berdiri tapi itu pun paling lama hanya sekitar lima menit. Tapi si bungsu ini senang jika diajak berjalan sambil kedua tangannya dipegang. “Kalau kedua tangannya dipegang, ia bisa berjalan. Bahkan terlihat senang,” katanya.***Hendra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *