PENDIDIKAN

Memaknai Pendidikan Untuk Mengurai Benang Kusut Pendidikan Nasional

Oleh: Apar Rustam Efendi

Disampaiakan Sebagai Catatan Hari Pendidikan Nasional

Secara marathon, di bulan April yang lalu, sekolah jenjang SD/Sederajat sampai SMA/Sederajat telah disibukkan dengan Ujian Nasional (UN). Betapa sangat terkurasnya energy kita untuk memperhatikan kegiatan yang satu ini, terlebih jenjang SMA/Sederajat yang secara teknis harus mewujudkan anjuran Guberjur Jawa Barat bisa melaksanakan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).

Tepat di hari ini tentunya semua pihak sedang harap-harap cemas menunggu kelulusannya yang secara berjenjang akam diumumkan mulai 3 Mei 2018.

Pertanyaannya adalah apakah sudah benar bahwa hasil pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dan siswa kemudian diukur dan dinilai oleh pemerintah? apakah indicator yang digunakan oleh pemerintah melalui UN dapat merepresentasikan kompetensi siswa?, Apakah UN yang diselenggarakan oleh pemerintah dapat menilai dan mengukur efektivtias pembelajaran yang telah dilaksanakan oleh guru? Dimanakah peran dan fungsi guru terkait dengan kegiatan UN? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendorong kami untuk membuat hipotesa bahwa penyelenggaraan UN saat ini berkontribusi banyak terhadap kusutnya wajah pendidikan nasional.

Di sisi lain, kami memandang bahwa pemerintah mengkonsepsikan komptensi secara parsial. Bahwa kompetensi itu dikonsepsikan secara terpisah dengan memuat Kompetnsi Inti 1, (KI 1), Kompetnsi Inti 2, (KI 2), Kompetnsi Inti 3, (KI 3) dan Kompetnsi Inti 4, (KI 4), yang di dalamnya setiap Kompetensi Inti memuat kompetensi dasar.

Pertanyaannya adalah bukankah kompetensi itu merupakan satu kesatuan secara utuh (PP No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan)?, Dimanakah KI 1 dan KI 2 diletakkan dalam pembelajaran? Apakah patokan yang harus dijadikan acuan untuk menerapkan KI 1 dan KI 2 dalam pembelajaran? Ketika tidak ditemukan ruang pengembangan KI 1 dan KI 2 dalam pembelajaran, masa iya di akhir pembelajaran KI 1 dan KI 2 harus diukur? Bagaimana cara mengukurnya, sementara KI 1 dan KI 2 tidak diturunkan dalam indicator-indikator? Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana UN dapat mengkur dan menilai KI 1 daan KI 2? Konsepsi kompetensi yang didefinisikan secara parsial ini juga menambah kusutnya wajah Pendidikan Nasional.
Kita tidak bisa menyangkal bahwa akhir-akhir ini kekusutan wajah Pendidikan Nasional juga ditambah dengan maraknya perilaku-perilaku menyimpang, baik yang berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual yang dilakukan dan dialami oleh pelajar. Bahkan kasus-kasus perilaku menyimpang yang dilakukan oleh oknum pelajar tidak lagi hanya dialami secara horizontal (kekerasan yang terjadi antar oknum pelajar), namun akhir-akhir ini banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum pelajar terjadi secara vertical (kekerasan yang dilakukan oleh oknum pelajar kepada guru.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) sebagaimana yang dikutip oleh Kompas. Com 26 Desember 2017 menyoroti dua kasus kekerasan horizontal yang mengakibatkan jatuhnya korban meninggal, Siswa Sekolah Dasar yang berinisial SR berusia 9 tahun di Sukabumi harus meregang nyawa setelah berkelahi di belakang sekolah dengan temannya. Kasus lainya adalah “Gladiator Bogor” yang melibatkan dua oknum pelajar bahkan alumi dan senior, yaitu pelajar dari SMA Budi Mulia dan Mardiyuana yang menewaskan Hilarius.

Kasus penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh oknum siswa dengan pola horizontal juga diperkuat dengan maraknya tayangan-tayangan video di dunia maya yang menampilkan perkelahian antar pelajar.

Lebih miris lagi, kekerasan yang dilakukan oleh oknum pelajar terjadi secara vertikal, kekerasan dilakukan oleh oknum pelajar kepada guru mereka sendiri. CNN Indonesia yang terbit 2 Februari merilis bahwa telah terjadi penganiayaan murid terhadap guru hingga tewas di Madura. Kasus yang melibatkan siwa SMA Negeri 1 Torjun berinisial HI telah merenggut nyawa seorang guru Budi. Ini tentunya hanyalah sebagian kasus yang dilakukan oleh oknum pelajar kepada gurunya sampai memakan korban jiwa, tentunya di luar sana masih banyak kasus-kasus serupa yang tidak atau belum terekspose ke permukaan.

Berdasarkan pada fakta-fakta di atas, kami meyakini bahwa ada yang salah pada system pendidikan kita. Ada hal-hal penting yang terabaikan oleh pemerintah sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan.

Pada momentum hari pendidikan nasional ini, kami dari Dewan Pengurus Kabupaten Serikat Guru Indonesia (SEGI) Garut memberikan catatan-catatan kritis kami kepada pemerintah sebagai upaya pembenahan Sistem Pendidikan Nasional.

Pertama
Pendidikan Nasional Bertujuan Menjadikan Peserta didik Menjadi Manusia yang beriman dan bertaqwa
Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No 20 tahun 2003 menjelaskan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Sangatlah jelas bahwa tujuan yang paling pertama diselenggarakannya pendidikan adalah agar peserta didik memiliki kekuatan spiritual. Tujuan spiritual yang dimaksud selanjutnya diperjelas oleh pasal 3. Dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ini merupakan pondasi pertama yang harus dibangun dalam system pendidikan nasional, sebab ini akan menjadi ruh bagi tujuan pendidikan nasional yang lainnya. Oleh karenya, Serikat Guru Indonesia (SEGI) Garut, mendesak pemerintah, untuk memproyeksikan pendidikan kita pada tujuan sebenarnya sesuai dengan peraturan peundang-undangan, yakni terlebih dahulu menjadikan peserta didik sebagai manusia yang beriman dan bertakwa terlebih dahulu.

Seyogyanya pendidikan nasional diproyeksikan terlebih dahulu dalam pembentukan manusia yang beriman dan bertakwa, niscaya kecil kemungkinan seseorang yang beriman dan bertakwa untuk berbuat permusuhan.

Kedua:

Kompetensi adalah satu kesatuan antara ilmu, sikap dan amal
Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menjelaskan bahwa Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum setidaknya memuat 4 komponen, yakni tujuan, materi, strategi dan evaluasi, antara komponen yang satu dengan komponen yang lainnya menjadi satu kesatuan. Artinya bahwa tiap elemen komponen kurikulum satu sama lain saling pengaruh mempengaruhi. Oleh karena satu kesatuan, maka diwajibkan adanya sinkronisasi antara keempat komponen kurikulum, dengan demikian, rumusan tujuan haruslah sinkron dengan rumusan materi, strategi dan harus sinkron pula dengan rumusan evaluasinya. Tujuan kurikulum adalah untuk mencapai standar kompetensi.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menjelaskan bahwa Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Dengan demikian, Serikat Guru Indonesia (SEGI) Garut, merekomendasikan kepada pemerintah, agar menerapkan konsepsi kompetensi pada kurikulum yang berlaku saat ini, sehingga akan sangat jelas orientasi tujuan, materi, strategi dan evaluasi pembelajaran dalam rangka pencapaian kompetensi oleh peserta didik. Dengan konsep terintegrasi maka akan meminimalkan split personality.

Ketiga:

Kembalikan Kewenangan Pembelajaran Secara Utuh Kepada Guru, termasuk UN
Pasal 39 ayat 2 Undang-undang No 20 tahun 2003 menjelaskan bahwa Pendidikan menjelaskan bahwa Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Pasal ini memberikan hak secara otonom kepada guru, untuk merencanakan, melaksanakan, membimbing dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Guru yang merencanakan tujuan, dalam pencapaian tujuan tersebut guru pulalah yang harus mengemas materinya agar materi yang disampaikan tidak terlepas dari tujuan-tujuan yang diinginkan. Untuk pencapaian tujuan-tujuan yang dirumuskan selanjutnya guru melaksanakan pembelajaran.dalam kontek pembelajaran seyogyanya guru diberikan hak secara otonom, dengan demikian, maka dalam konteks pembelajaran seharunya tidak ada pihak-pihak yang merecoki guru dalam menjalankan proses pembelajaran. Untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan, tentunya yang merumuskan evaluasinya juga harus guru.

Tidak pihak yang lain. Dengan demikian, maka dalam konteks pembelajaran seharunya tidak ada pihak-pihak yang merecoki guru. UN yang diselenggarakan oleh pemerintah tentunya posisinya sangatlah lemah, sebab tidak secara langsung pemerintah terjun untuk menyajikan materi dan merumuskan tujuan pembelajaran. Oleh sebab itu sudah saatnya UN dikembalikan ke guru dalam hal ini pada satuan pendidikan.

Demikian rilis ini disampaikan dengan harapan dapat memberikan kontribusi sebagai salah satu solusi meluruskan kusutnya Pendidikan Nasional.

****Penulis Kandidat Doktor Bidang Pendidikan saat ini Menjabat Ketua SEGI Garut dan aktiv sebagai praktisi pendidikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *