GAPURANA SENI HIBURAN

Festival Film Bandung 2014, Api Pencitraan Budaya Jabar Dalam Film

Festival Film Bandung 2014, Bagian 3
Oleh: Yoyo Dasriyo

“Mojang Pinilih” Garut 2014, Intan Afifah, mendampingi  Yoyo Dasriyo, dalam FTV “Stasiun Cinta” karya Wawan Hermawan. Film televisi yang lokasi syutingnya berpusat di Garut ini, hadir dengan nuansa bidaya Jawa Barat (Foto: Dokumentasi Yodaz)
“Mojang Pinilih” Garut 2014, Intan Afifah, mendampingi Yoyo Dasriyo, dalam FTV “Stasiun Cinta” karya Wawan Hermawan. Film televisi yang lokasi syutingnya berpusat di Garut ini, hadir dengan nuansa bidaya Jawa Barat
(Foto: Dokumentasi Yodaz)

Gapura Seleberita, – TIDAK hanya penceritaan. Kemasyhuran lagu pop Sunda pun, pernah ditambang di ladang film nasional. Dalam fenomena kepopuleran lagu “Panon Hideung” yang menasional,(alm) Nawi Ismail menghadirkan film “Panon Hideung” (1961).

Lagu karya (alm) Ismail Marzuki yang konon diadopsi dari lagu “Ochi Chornya” (Rusia) itu, dibintangi (alm) Us-Us, Anna Susanti, (alm) Eddy Soed dan Noortje Sopandi. Sukses pasar film “Panon Hideung”, dimaknai sebagai tandingan dari film penjual kepopuleran lagu “Ayam Den Lapeh”.

Lagu pop Minang karya A Hamid itu, meniup reputasi Nurseha dan Elly Kasim. Sutradara Gatot Iskandar meramu film “Ayam Den Lapeh” (1960), yang diperani aktor (alm) Bambang Irawan dan (alm) Farida Aryani. Pasangan bintang pop, yang tampil memikat di film “Pedjoang” karya (alm) H Usmar Ismail. Memang, kepopuleran lagu dan kemasyhuran bintang, jadi formula komersial untuk pasar film seperti itu. Sukses film “Ayah Den Lapeh” dan “Panon Hideung”, bukti dari pengakuan dalam kekuatan pasar lagu daerah.

Tanpa menjual kepopuleran judul lagu, siasat memenangi pasar film era 1960-an, banyak ditempuh pula dengan menampilkan penyanyi tenar berlagu hit-nya.

Kemasyhuran lagu pop Sunda “Pileuleuyan” (Mus K Wirya) iringan Orkes “Los Suita Rama”, mengantarkan (alm) Lilies Suryani berlagu itu di film “Di Ambang Fadjar” (1966) karya (alm) Pietradjaya Burnama. Di film itu pula, pop Jawa “Bir Temu Lawak” didendangkan Hardjomulyo, dibarengi Tutty Soebardjo berlagu “Ku Kan Menunggu”.

Di luar penceritaan dan akting pelakonnya, penampilan penyanyi tenar berlagu kesayangan, jadi bagian daya pikat penonton film nasional. Banyak orang tergoda memburu gedung bioskop, saat terkabar (alm) Alfian berlagu “Senja di Kaimana” dan “Semalam di Cianjur” di film “Tjek AA 42658” (1964), atau waktu Ernie Djohan berlagu di film “Belaian Kasih”. Masa industri film nasional masih berpayung mega mendung, kepopuleran lagu dan penyanyinya jadi pertaruhan dalam perdagangan film.

Bduan (alm) Rachmat Kartolo pun laris membintang, dengan film bertajuk lagu kemasyhurannya, seperti “Kunanti Jawabmu” maupun “Tak Kan Lari Gunung Dikejar”. Lagu hit lainnya, termasuk “Patah Hati”, “Pusara Cinta”, “Sengsara, “Oh Dewi” hingga “Cinta Maria”, mewarnai banyak film Rachmat Kartolo. Dalam fenomena sukses lagu “Bengawan Solo” dan “Tirtonadi”, menguatkan kelahiran filmnya. Muncul kemudian “Minah Gadis Dusun”, yang mendongkrak pamor Titiek Puspa jadi pemeran utama filmnya.

Terlebih film “Di Balik Tjahaja Gemerlapan” (1967) karya (alm) H Misbach Yusa Biran, yang memuat seabreg artis penyanyi kondang. Film drama musikal ini menjayakan H Misbach sebagai “Sutradara Terbaik” dan (alm) Soekarno M Noor “Aktor Terbaik”, di “Pekan Apresiasi Film Indonesia” 1967. Parade artis penyanyi tenar pula, yang diramu sutradara (alm) Nya’ Abbas Akup untuk film “Dunia Belum Kiamat” (1969) dan “Ambisi” (1974).

Formula bisnis film dengan kepopuleran lagu dan penyanyinya memusim, manakala keterbatasan tayangan paket hiburan musik di televisi. Empat tahun pasca sukses kebangkitan pertama perfilman nasional dari sukses fenomenal film “Bernapas Dalam Lumpur” (1970) karya (alm) Turino Djunaedi, lahir film “Butet” (1974) karya SA Karim yang dipetik dari kepopueran lagu beretnis Batak Namun pasar film “Butet” berbintangkan (alm) Hendra Cipta, Yatie Octavia dan Nur’ Afni Oktavia, tidak sekuat kepopuleran lagunya.

Celakanya, film itu justru berganti judul “Patah Tumbuh, Hilang Berganti”, yang tidak sekomersial lagu “Butet”. Hingga kini formula menjual kemasyhuran lagu ke dalam film nasional, masih mengusik naluri bisnis produser film. Kenang lagi sukses legenda “Ratapan Anak Tiri” (1973) karya (alm) Sandy Suwardi Hassan. Lagu melayu itu mengental dengan kepopuleran Mashabi. Sejauh ini, tidak banyak kemasyhuran lagu daerah, yang dijual sebagai judul film nasional.

Dibandingkan dengan kepopuleran lagu, cerita lokal berkultur Jawa Barat lebih deras dibuat film. Aktor H Rano Karno pun pernah bersiap menggarap sinetron komedi miniseri bernuansa Jawa Barat, bertajuk “Siti Hompimpah” (2003). Tetapi program produksi Itu harus batal, saat pelakon “Si Doel” sibuk di dunia politik dan pemerintahan. Besar harapan dipertaruhkan, kelangsungan pamor Festival Film Bandung mampu menyulut lagi semangat pencitraan budaya Jawa Barat dalam film nasional ***

(Selesai)…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *