GAPURANA SENI HIBURAN

Pengakuan FFB 2014 untuk Rima Melati, Penerima Pertama Gelar Aktris Terbaik FFI

Potret kenangan “The Best Actor/Actrees” 1972. Rima Melati (paling kanan). Berderet dari kiri: (alm) Sophan Sophiaan, Lenny Marlina, (alm) Dicky Zulkarnaen, Mieke Widjaya, (alm) Kusno Soedjarwadi, Widyawati, Rano Karno kecil, (alm) Rd Mochtar dan Komalasari. Tradisi tahunan pentas anugerah insan film ini dilebur ke dalam FFI sejak 1973 (Dokumentasi Yoyo Dasriyo)
Potret kenangan “The Best Actor/Actrees” 1972. Rima Melati (paling kanan). Berderet dari kiri: (alm) Sophan Sophiaan, Lenny Marlina, (alm) Dicky Zulkarnaen, Mieke Widjaya, (alm) Kusno Soedjarwadi, Widyawati, Rano Karno kecil, (alm) Rd Mochtar dan Komalasari. Tradisi tahunan pentas anugerah insan film ini dilebur ke dalam FFI sejak 1973
(Dokumentasi Yoyo Dasriyo)

 

Pengakuan FFB 2014 Untuk Rima Melati: (Bag 1)

Oleh: Yoyo Dasriyo

AKTRIS film legendaris Rima Melati, Sabtu malam (13/9) nanti dihadirkan di malam puncak anugerah FFB 2014 (Festival Film Bandung). Artis yang semula populer dengan nama Lientje Tambayong, dinilai memiliki kelayakan sebagai insan film penerima “Lifetime Achievement Award” FFB. Penghargaan serupa, dianugerahkan pula untuk Putu Widjaya. Walau tak sepopuler Piala Citra, tetapi derajat “Lifetime Achievement Award” FFB, tak kalah bergengsi.

Tentu, karena anugerah lambang kesetiaan profesi di dunia perfilman nasional itu, bermakna pengakuan atas dedikasi dalam menapaki perjalanan panjang kariernya. Memang, Rima Melati amat pantas menerima “Lifetime Achievement Award” FFB 2014, karena jam terbang keartisan dari aktris kelahiran Tondano, Sulawesi Utara, (22 Agustus 1939) ini, tak perlu diragukan lagi. Berangkat dari figuran di film “Djuara Sepatu Roda” karya AW Uzhara (1958), Rima Melati menunjukkan kesungguhan totalitas akting dalam puluhan filmnya.

Kelangsungan kariernya terus berayun, hingga menembus perwajahan sinetron televisi. Namun tak banyak lagi diingat orang, sebenarnya Rima Melati pelaku sejarah di awal kebangkitan pertama industri film nasional (1970).

Selepas film panas “Bernapas Dalam Lumpur” jadi “lokomotif” pembangkit film nasional dengan sukses fantastisnya, (alm) Turino Junaedi – sutradara film itu menghadirkan Rima Melati dalam lanjutan kisah filmnya bertajuk, “Noda Tak Berampun”. Rima jadi penerus “keberanian” (alm) Suzanna. Terbukti pasar film yang masih menjual tokoh antagonis (alm) Farouk Affero dan (alm) Rachmat Kartolo itu, tak kalah menggetarkan dibanding “Bernapas Dalam Lumpur”.

Reputasi Rima Melati pun berkilat. Bahkan, kematangan aktingnya di film “Noda Tak Berampun”, menuai gelar “The Best Actrees” di arena pemilihan “The Best Actor/Actrees” 1970 versi PWI Jaya Sie Film, mendampingi Rachmat Hidayat (film “The Big Village”). Gelar itu kian menggosok daya jual Rima Melati, karena “Pekan Apresiasi Film Indonesia” tengah mati suri sejak 1967. Dunia film dalam negeri sunyi dari gaung anugerah prestasi.

Di tengah bara suhu produksi film era 1970-an, Rima Melati lalu jadi primadona pasar film nasional. Bermacam tema filmnya, deras membanjiri perbioskopan. Aktris laris yang pernah membintangi film “Notaris Sulami” (1961) dan “Violetta” (1962) ini, mendominasi iklim bursa film nasional. Kondisi itu tercipta karena sukses bergelar “The Best” diasumsikan bernilai komersial untuk pasar filmnya. Saat itu, perwajahan film negeri ini cenderung berkisar di antara bintang Rima Melati, Mieke Widjaya, Widyawati dan Suzanna.

Mereka menjejeri aktor Rachmat Hidayat, (alm) Dicky Zulkarnaen, (alm) Ratno Timoer, (alm) Sandy Suwardi dan (alm) Farouk Affero. Kekuatan nilai jual dan kemantapan akting Rima Melati, membukukan awal karier (alm) Teguh Karya dalam garapan film pertamanya, “Wadjah Seorang Laki-Laki” (1971). Namun, film itu masih kental dengan gaya teaterikal, yang belum bersahabat di pasar film nasional. Apapun hasilnya, reputasi Rima Melati makin menajam.

Di ajang pemilihan “The Best Actor/Actrees” tigakali berturut-turut, posisi Rima masih diperhitungkan. Film “Wadjah Seorang Laki-Laki”, mengantarkannya ke peringkat Aktris Harapan Terbaik 1 (1971), di atas Widyawati (film “Pengantin Remadja”), Mieke Widjaya (film “Malam Djahanam”), dan (alm) Suzanna (film “Air Mata Kekasih”). Peringkat yang sama, kembali dimenangi Rima dari film “Salah Asuhan” karya (alm) Drs H Asrul Sani (1972).

Pesona akting Rima Melati sangat mengesankan, dalam keutuhan karakteristik tokoh “Rapi’ah” di film “Salah Asuhan”. Keapikan totalitas aktingnya seperti itu, pernah pula memagut penonton film “Cintaku Jauh di Pulau (Motinggo Boesje). Sebaliknya,(alm) Dicky Zulkarnaen pelakon “Hanafi” pasangan Rima dalam film novel karya Abdoel Moeis itu, merasa terpukul dengan kemenangan peringkat Aktor Harapan Terbaik III ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *