GAPURANA SENI HIBURAN

Harga Kesetiaan Profesi di FFB, Getar Dawai Biola Berlagu “Seroja”

Momentum terindah di FFB 2009. Disaksikan Dicky Chandra dan Rano Karno, aktor (alm) H Arman Effendy yang terduduk di kursi roda, menerima anugerah “Lifetime Achievement Award” FFB dari Wagub Jabar H Dede Yusuf. Suasana sesaat dicekam keheningan dan keharuan. (Foto: YODAZ)
Momentum terindah di FFB 2009. Disaksikan Dicky Chandra dan Rano Karno, aktor (alm) H Arman Effendy yang terduduk di kursi roda, menerima anugerah “Lifetime Achievement Award” FFB dari Wagub Jabar H Dede Yusuf. Suasana sesaat dicekam keheningan dan keharuan.
(Foto: YODAZ)

Harga Kesetiaan Profesi di FFB (Bagian 2)

Oleh: Yoyo Dasriyo

MOMENTUM terindah penganugerahan “Lifetime Achievement Award”, tergelar di Hotel “Horizon” dalam malam puncak anugerah FFB 2009. Martabat lambang kesetiaan profesi insan perfilman itu terkesan lebih spesial, karena puncak FFB menghadirkan tiga pejabat pemerintahan berbasis dunia selebritis. Ketiga figur bintang itu, H Dede Yusuf (Wakil Gubernur Jawa Barat), H Rano Karno (Wabup Tangerang) dan Diky Chandranegara (Wabup Garut).

Mereka bersaksi di pentas, ketika Wagub Jabar menganugerahkan pengakuan FFB 2009 itu untuk (alm) H Arman Effendy yang terduduk di kursi roda. Diiringi getar dawai biola berlagu sendu “Seroja”, tangis kebahagiaan aktor film asal Garut itu pun runtuh. Seketika atmosfer keharuan mencekam suasana. Semua orang tertegun. “Sangat di luar dugaan saya, jika FFB memberi kehormatan yang luar biasa! Saya sangat bersyukur, karena dalam sisa usia sekarang ini, masih ada yang perduli dan menghargai saya”

Begitu pernah diungkapkan H Arman Effendy, selepas menerima anugerah itu. Aktor yang merintis kariernya dari figuran film “Panggilan Tanah Sutji” (1962) itu menilai, FFB 2009 jadi peristiwa paling istimewa dan terindah selama hidupnya. “FFB luar biasa! Waktu saya menang di FFI pun, tidak merasakan kebahagiaan istimewa seperti itu..!” kenang Arman, yang dibintangkan sejak film “Anak-Anak Revolusi” (1964) karya (alm) Usmar Ismail.

Keharuan yang menggalau kebahagiaan Arman Effendy malam itu, karena lagu lawas “Seroja” yang menjemput kehadirannya di puncak FFB 2009, merupakan saksi jejak kariernya saat memimpin Orkes “Dendang Kelana” di Garut (1956). Penerima Piala Citra FFI 1973 Jakarta bergelar Aktor Harapan Pendatang Baru Terbaik (film “Mereka Kembali”) itu, berhenti dari profesi keaktorannya selama 12 tahun. Hidup berteman kursi roda, karena terpasung sakit berkepanjangan.

“Apapun kondisi fisik saya, tetapi saya bahagia mendapat peluang tampil di puncak anugerah FFB” ungkap Arman Effendy lagi. Berselamg dua tahun, aktor film legendaris Garut itu berpulang ke alam keabadian. Bentuk penghargaan insan film itu berharga pengakuan profesi, dengan gengsi tersendiri. Bahkan, (alm) Us-Us mantan aktor laris film komedi dan pelawak kondang, tak kuasa menahan keharuan waktu menerima “Lifetime Achievement Award”,FFB 2010 di Hotel “Horizon” Bandung.

Butir tangis Us-Us berkilatan. Haru menyentuh semua orang di hotel itu, saat sang komedian fenomenal mengaku, baru pertamakali menerima penghargaan di festival film. Reputasi gemilangnya sejak tampil di film “Djuara Sepatu Roda” (1957) karya (alm) AW Uzhara, hingga seratus film lebih yang diperaninya, berlalu dari ingatan orang. Direntang empatbelas hari dari suasana momentum terindah dalam kariernya (23/4-2010), “Abah Us-Us” sang “Jerry Lewis of Indonesia” itu terkabar tutup usia.

Simbol kesetiaan terpuji dalam berprofesi, lalu bergulir ke Nani Widjaya, Mieke Widjaya (2011), (alm) H Misbach Yusa Biran (2012), Rahayu Effendy (2013), Rima Melati dan Putu Widjaya di FFB 2014. Benar, Mieke Widjaya, Rima Melati dan Rahayu Effendy, merupakan figur pelaku legenda keartisan film Indonesia, dengan reputasi gemilang dan dedikasi terpuji. Berbeda dengan Mieke Widjaya dan Rima, Rahayu Effendy lama menghilang dari percaturan keartisan film.

Sungguhpun begitu, sebelum era kebangkitan pertama industri film di negeri ini, pamor Rahayu Effendy pernah dijadikan pertaruhan pasar film. Sukses pasar film “Matjan Kemajoran” (1966), bersambut film-film lainnya seperti “Sembilan”, “Djahoma”, “Laki-Laki Tak Bernama”, “Orang-Orang Liar” serta “Mat Dower”,. Reputasi Rahayu Effendy kian berkilat, selepas kebangkitan industri film 1970. Film-filmnya mengalir deras, seperti “Dan Bunga-Bunga Berguguran”, “Mama”, “Biarlah Aku Pergi”, “Tokoh”, “Mereka Kembali”, “Senyum Di Pagi Bulan Desember”, “Kembang-Kembang Plastik” berikut “Halimun” ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *