GAPURANA SENI HIBURAN

Harga Kesetiaan Profesi di FFB, Kenangan Terindah Bagi Mantan Bintang Laris

Sebuah adegan film legendaris “Tiga Dara” (1956) karya (alm) Usmar Ismail. Sukses film ini yang melejitkan  reputasi (alm) Chitra Dewi. Dari kiri; Indriaty Iskak, Mieke Widjaya  dan Chitra Dewi. (Foto: Istimewa)
Sebuah adegan film legendaris “Tiga Dara” (1956) karya (alm) Usmar Ismail. Sukses film ini yang melejitkan reputasi (alm) Chitra Dewi. Dari kiri; Indriaty Iskak, Mieke Widjaya dan Chitra Dewi.
(Foto: Istimewa)

 

Harga Kesetiaan Profesi di FFB (Bagian 1)

Oleh: Yoyo Dasriyo

TANPA alasan jelas. Tidak setiap tahun, Festival Film Indonesia (FFI) memberi anugerah “Lifetime Achievement Award” untuk insan perfilman nasional yang dianggap layak. Berbeda dengan FFB (Festival Film Bandung). Empat tahun sejak pentas FFB digelar (1987), anugerah prestasi itu mulai dikembangkan dengan penyerahan lambang penghargaan atas kesetiaan profesi. Tahun 1991, ditandai dengan memilih (alm) Nyak Abbas Akup.

Dalam kondisi sakit, sutradara jempolan film komedi situasi itu dihadirkan di puncak FFB 1991. Memang sukses Nyak Abbas Akup dari film pertamanya yang bertitel “Heboh” (1954), menularkan banyak filmnya “heboh” di pasar film. Tahun 1956, sukses film “Djuara 1960”, bersambut “Tiga Buronan” (1957), dan “Djenderal Kantjil” (1957) yang membintangkan Achmad Albar kecil, melegenda dalam perjalanan riwayat film nasional hingga kini.

Reputasi Nyak Abbas Akup pun menuai gelar “sutradara spesialis film komedi”. Film-film banyolan lain bermuatan kritik sosialnya mengalir, seperti “Mat Dower” (1969), “Ambisi” (1974), “Bing Slamet Koboy Cengeng” (1975), dan berpuncak dengan sukses fantastis komedi sex “Inem Pelayan Seksi” (1977) – film peniup kemasyhuran Dorris Callebaut Sangat realistis, saat FFB 1991 mengukuhkan sutradara film “Cintaku di Rumah Susun” dan “Kipas-Kipas Cari Angin” itu untuk penerima “Lifetime Achievement Award”.

Tahun itu pula, Abbas Akup menerima anugerah khusus di FFI 1991, sebagai “Sutradara yang konsisten membuat film-film komedi berbobot kritik sosial”. Langkah terpuji FFB lalu dikuatkan dengan mentradisikan simbol kesetiaan profesi itu sejak tahun 1995, yang memilih (alm) Dicky Zulkarnaen. Tetapi aktor legendaris film “Si Pitung” (1971), yang merintis karier dari figuran film “Sehelai Merah Putih” (1960), berpulang jelang pergelaran FFB.

Kenyataan itu berulang dengan anugerah FFB 1996 untuk (alm) H Benyamin S, dan (alm) Ryan Hidayat (1997), yang tutup usia di kejayaan kariernya. Tahun 1998 hingga 2005, anugerah itu terbagi ke Ir Chand Parwez, Christine Hakim, (alm) Teguh Karya, (alm) H Misbach Yusa Biran, Garin Nugroho, (alm) Idris Sardi, H Rachmat Hidayat dan (alm) H Rosihan Anwar, tokoh pers yang turut berperan mengawal kelangsungan film nasional.

Tanpa mengecilkan makna anugerah untuk para insan film yang sudah tiada, agaknya “Lifetime Achievement Award” lebih dibanggakan para insan film yang terlupakan. Kebahagiaan bergalau keharuan, tercermin waktu (alm) Chitra Dewi menerima anugerah itu di FFB 2007. Mantan primadona film nasional yang membuka kariernya dari film “Tamu Agung” (1955) itu, film-filmnya melegenda sejak sukses besar “Tiga Dara” (1956), bersama Mieke Widjaya dan Indriaty Iskak.

Tahun 1970 pesona acting Chitra Dewi di film ”Nji Ronggeng” karya (alm) Alam Rengga Surawidjaya, menuai gelar Aktris Harapan Terbaik II versi PWI Jaya Seksi Film. Lalu di FFI 1979 Palembang, merebut peringkat Aktris Pendukung Utama Terbaik (film “Gara-Gara Isteri Muda”) karya (alm Wahyu Sihombing), dan berjaya pada Festival Sinetron Indonesia 1994 (sinetron “Potret Keluarga”). Chitra Dewi pula wanita sutradara ketiga di Indonesia, sepeninggal (alm) Ratna Asmara dan (alm) Sofia WD. Karya filmnya, “Penunggang Kuda Dari Cimande” (1970), “Bercinta Dalam Gelap” dan film “Dara-Dara” (1971).

Reputasi gemilang Chitra Dewi memburam, tersapu putaran waktu. Kenyataan sumbang itu juga dijalani aktor kampiun (alm) Kusno Soedjarwadi, penerima penghargaan di FFB 2008. Aktor film ini terpinggirkan, dari kebangkitan kedua perfilman nasional. Dalam sakit dan faktor ketuaannya, Kusno mengaku sangat membanggakan anugerah khusus dari FFB, yang tak pernah diduganya. Tetapi aktor film kelahiran Yogyakarta yang dibesarkan di Wanaraja, Garut itu, pernah bergelar “The Best Actor” versi PWI Jaya Seksi Film 1972 (film “Perkawinan”).

Di Festival Film Indonesia 1974 Surabaya, Kusno pun memenangi gelar “Aktor Terbaik Dengan Penghargaan” (film “Rio Anakku”). Namun direntang 34 tahun, baru FFB yang menaruh kepedulian lagi. Padahal aktor yang meniti karier dari figuran film “Sampai Berdjumpa Pula” karya (alm) Basuki Effendi (1951), pernah jadi sutradara film “Direktris Muda”, “Sopirku Sayang” dan “Cowok Masa Kini”. Uniknya, Kusno Soedjarwadi dan Chitra Dewi, tutup usia pada waktu yang sama, 28 Oktober 2008. Walau begitu, kedua mantan bintang laris film nasional itu sempat berbangga, menerima anugerah profesi di kesenjaan usianya ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *