GAPURANA SENI HIBURAN

Film Perang di Televisi “Berperang” Melawan “Rating”

Empat aktor film legendaris perfilman nasional, yang semuanya sudah tiada. Dari kiri Bambang Irawan, Ismed M Noor, Bambang Hermanto dan Rendra Karno. Mereka beraksi dalam adegan film “Pedjoang” (1960) karya (alm) H Usmar Ismail. (Foto Istimewa)
Empat aktor film legendaris perfilman nasional, yang semuanya sudah tiada. Dari kiri Bambang Irawan, Ismed M Noor, Bambang Hermanto dan Rendra Karno. Mereka beraksi dalam adegan film “Pedjoang” (1960) karya (alm) H Usmar Ismail.
(Foto Istimewa)

Oleh: Yoyo Dasriyo

KEMASAN film nasional berwajah perjuangan, bukan lagi tayangan acara film spesial di pertelevisian. Bahkan, suasana peringatan Proklamasi Kemerdekaan negeri ini, nyaris kering dari tayangan film kenangan revolusi. Tradisi tahunan di televisi itu hilang, tersapu pergeseran iklim. Di bulan yang membingkai historis nasional, tidak lagi bersahabat dengan tayangan film patriotisme yang memuat semangat kepahlawanan.

Kondisi seperti itu banyak dinilai cermin kemerosotan nilai nasionalisme. Konon harga kenangan revolusi dalam kemasan film, dianggap tak bermakna lagi di alam kekinian. Tak sedikit vonis ditudingkan, tayangan film perjuangan tidak selaras lagi dengan napas kehidupan zaman. Padahal krisis tentang persatuan dan kesatuan yang menggerus generasi penerus, sering terumbar di berbagai media massa.

Malapetaka itu ibarat warisan klasik, yang harus selalu disikapi. Penanaman kecintaan berbangsa dan ber-Tanah Air, tiada habis diperlukan. Itu harga mati dari sebuah perjuangan lain. Ironisnya, media televisi yang amat berdaya efektif mengkampanyekan gelora kejuangan nasional, surut dari tayangan film-film berwajah epos. Di balik itu, banyak film kenangan revolusi, yang terlahir bukan semata karena naluri bisnis produser iflm.

Bukan pula sekadar mendagangkan cuplikan nostalgia pejuang kemerdekaan. Tetapi film-film bertema drama peperangan, yang dilahirkan dengan kepedulian mulia. Melalui media film komersial, masih ada kalangan produser film nasional, yang terpanggil mewariskan semangat patriotisme para pendahulunya. Semua orang memahami, darah dan nyawa pahlawan dipertaruhkan, untuk kejayaan bumi Pertiwi. Kobar api semangat mereka tiada pernah padam.

Tetapi visualisasi suasana masa revolusi banyak dianggap kuno. Dinilai lemah pula dalam takaran komersial! Film perjuangan seolah bernasib malang. Dilirik sebelah mata. Tak dianggap sebagai film berdaya tontonan dan tuntunan. Akan sangat terpuji andai insan pengelola pertelevisian kembali perduli menyuburkan tayangan film perjuangan. Memprihatinkan, andai tayangan film perjuangan di layar televsi, dibiarkan gersang berkepanjangan.

Film perjuangan dalam negeri, seringkali terpinggirkan film perang dari negeri asing, seperti “Pearl Harbour” “Saving Private Ryan” maupun “Red Rock”. Padahal, tak sedikit film nasional jadul yang pernah subur di layar pertelevisian, terutama setiap suasana peringatan hari nasional. TVRI Pusat pernah membuat paket “Sepekan Film Usmar Ismail”, yang ditandai film “Darah dan Doa” (1950). Film berbintangkan aktor (alm) AN Alcaff dan Dahlia itu, bernilai historis bagi momentum Hari Film Nasional (30 Maret).
Syuting hari pertama film itu, dijadikan tonggak kesejarahan perfilman nasional.

Di antara sebaris film perjuangan karya Usmar Ismaiil, tercatat film “Pedjoang” (1960), “Toha Pahlawan Bandung Selatan” (1962) dan “Anak-Anak Revolusi” (1964), yang memenangi pasar film. Sayang copy film-film itu tidak tersisa! Film lainnya, “Sehelai Merah Putih”, “Daerah Tak Bertuan”, “Kenangan Revolusi”, “Perawan di Sektor Selatab”, “Bandung Lautan Api”, hingga “Djanur Kuning” karya “sutradara spesialis” film perjuangan, (alm) Alam Rengga Surawidjaya.

Ingat pula film “Mereka Kembali” (1972) karya (alm) Nawi Ismail, yang memuat romantika lain hijrah Pasukan Siliwangi. Film “Lebak Membara”,dan “Pasukan Berani Mati” karya Imam Tantowi, hingga parodi perjuangan “Laskar Pemimpi” (Monty Tiwa), menguatkan daftar kekayaan film nasional tentang pahlawanan. Meski teknis filmisnya kalah modern dibanding “Merah Putih”, “Darah Garuda” maupun “Hati Merdeka”, namun film-film jadul bertema perjuangan memiliki kekuatan penceritaan, pemeranan serta atmosfer masa revolusi.

Boleh jadi, kelangkaan tayangan film perjuangan di televisi, berkait persaingan dengan pencapaian “rating” iklan. Ini kenyataan lain dari surutnya tayangan film jenis itu, yang harus ditemukan solusinya! “Rating”-nya yang dianggap kurang berdaya komersial, menuntut film perang harus “berperang” memenangi kadar “rating”….**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *