GAPURANA

Hari Perhubungan Nasional : Tapak “Si Gombar” Pemutus Kekusutan Kota Garur

Kenangan klasik 1976 di Halte KA Cinunuk – Wanaraja, Garut. Bangunan halte di antara jarak lintas KA “Si Gombar” Garut _ Cibatu ini, senasib belasan halte lainnya. Sirna tanpa bekas. (Foto: Dokumentasi Yoyo Dasriyo)
Kenangan klasik 1976 di Halte KA Cinunuk – Wanaraja, Garut. Bangunan halte di antara jarak lintas KA “Si Gombar” Garut _ Cibatu ini, senasib belasan halte lainnya. Sirna tanpa bekas.
(Foto: Dokumentasi Yoyo Dasriyo)

Hari Perhubungan Nasional (Bagian 4- Habis):

Oleh: Yoyo Dasriyo

Sampai dekade 1970-an tak sembarang orang boleh melintas ke Stasiun Garut. Semua tepian rel kereta api pun terpagar kawat berduri. Pejalan kaki terlarang melintas rel kereta. Tidak ada penumpang berani naik “Si Gombar” tanpa bayar! Banyak aturan dan kedisiplinan pernah jadi harga mati dalam pemanjangan umur layanan jasa KA “Si Gombar” di Garut. Ketika gerbong barang di depan gudang, menurunkan muatan puluhan sapi dan kerbau,  Jalan Mandalagiri yang terhubung ke gudang KA di Jl Mawar, mendadak disesaki armada hewan.

Hampir saban pagi, tegelar pemandangan rutin. Arak-arakan kerbau dan sapi, bergalau hilir-mudik manusia di perkotaan. Iring-iringan hewan digelandang ke Pasar Hewan di Jalan Guntur. Selebihnya digiring untuk dieksekusi di kampung Pajagalan, sebelum pemotongan hewan beralih ke Ciawitali dan wajah “Pasar Garoet” berganti pertokoan “Garut Plaza”. Manakala kereta datang mengangkut rangkaian gerbong tangki minyak kelapa, dan gerbong bermuatan drum aspal, Jl Mandalagiri dan Jl Guntur pula diterpa gemuruh dari puluhan drum berisi minyak kelapa yang digelindingkan dari gudang DKA.

Bergantian drum digelindingkan ke jejeran kios kelontongan di Jl Guntur, yang berdekaan dengan “Pasar Garoet”. Puluhan drum lain diangkut dengan roda besi alias “geletrek”. Pawai gelindingan roda besi terdengar memekak. Bunyi gemuruh bersahutan. Di balik kebisingan itu, di Jl Mawar seberang stasiun KA, deretan gerbong barang dan gerbong tangki menghalang jalan. Badan Jalan Mawar yang sempit makin sesak. Namun masa kejayaan perkeretaapian itu pun bersaksi, atas kemasyhuran jeruk Garut dan kesemek alias apel Cikajang.

Gerbong bagasi tempat penampungan muatan jeruk dan kesemek, bergalau luapan penumpang kereta yang berdesakan dari setiap halte. Gerbong bagasi jadi alternatif, untuk tempat penumpang, meski harus berdiri. Saat itu, buah kesemek yang memang “pesolek”, baru diangkut dari bak pengapurannya di Jl Mawar. Jelang tutup sejarahnya, orang tak banyak lagi meminati layanan jasa KA “Si Gombar”. Tigapuluh tahun berlalu, lengkingan hatong spesifik milik “Si Gombar” hanya mengkristal dalam riwayat di balik bangunan bekas Stasiun KA Garut, berlapis benteng Pasar Mawar Mandalagiri (Pasar Gapensa).

Sayang, bangunan permanen pasar panjang pengubur areal stasiun kereta itu, belum dioptimalkan untuk menyerap pedagang yang bertebaran di perkotaan Bentangan rel kereta yang dulu berpagar kawat berduri dan lahan hijau habis tanpa sisa. Semua tersapu bangunan kios pasar, yang memanjang ke batas bekas palang pintu di Jl Mandalagiri. Memang, sepeninggal KA “Si Gombar:” (1984), areal Stasiun KA Garut pernah sekian lama tercampak. Asset Perumka itu lalu dipertaruhkan untuk menyehatkan wajah pusat Kota Garut dari problema luapan para pedagang di luar pasar.

Semula lahan luas bekas areal Stasiun KA Garut, dinilai paling ideal untuk penempatan arus pedagang, yang menghantui kenyamanan suasana pusat Kota Garut. Namun kebijakan itu tidak seirama dengan perhitungan. Terlebih, selepas kepemimpinan Bupati Garut, H Agus Supriadi. Kekusutan yang melukai wajah perkotaan tidak terkendali, karena PKL meluas ke kawasan Jl Jend A Yani, Jl Ciledug, Jl Cikuray dan Jl Siliwangi.

Sebaliknya, banyak kios di Pasar Gapensa sepi pedagang. Bahkan setengah lokasi pasar hingga batas Jl Pamuka, banyak kios berganti bangunan rumah permanen. Para pedagang di pasar itu berkeluh sepi konsumen, karena lokasi pasar dipersaingkan dengan kebebasan pedagang di emper toko. Keramaian Pasar Gapensa hanya semusim aksi penertiban PKL.! Ternyata, kehidupan suasana lain dari bekas Stasiun KA Garut, belum mampu memutus benang kusut dari problema Pemkab Garut.

Di sebelah barat lokasi stasiun pun, tergelar pasar jajanan yang menimbun lahan bekas lintasan KA jurusan Garut – Cikajang. Lokasinya dibangun di seberang mulut Pasar Gapensa, Jl Pramuka, bersebelahan dengan bekas Mess PTG yang berganti pertokoan “IBC” (“Intan Bisnis Center”). Itu pun siasat membenahi perkotaan Garut, yang pernah menuai kontroversial,terkait relokasi Pasar Ceplak. Pusat jajanan serba ada yang digelar sejak sore hingga malam itu, memang potret klasik Kota Garut di waktu malam.

Para PKL Siliwangi meratap, karena dipaksa pindah ke depan Gedung “Pusat Pengkajian Islam” di Jl Pramuka. Banyak pedagang kecil gulung tikar, karena lokasi itu dinilai menjorok dari pusat perkotaan. Agaknya kebijakan itu terlalu pagi, sebelum tergelar keramaian suasana pertokoan “IBC” dan “Ramayana” di Jl Guntur. Hingga kini, lokasi baru “Pasar Ceplak” masih terlantar! Tetapi, lahan peninggalan lintasan rel “Si Gombar” Jl Pramuka itu, terlanjur habis ditebas untuk kenyamanan kota. .Entah apa jadinya, jika “Si Gombar” beraksi kembali *

(Selesai)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *