GAPURANA SENI HIBURAN

Historis Garut Dalam Perfilman Nasional : Banyak Pendatang Membintang Dari Film di Garut

Sebuah adegan meyakinkan dalam film fenomenal “Dikejar Dosa’ (1974) karya Lukman Hakim Nain. Kemarahan (alm) Marlia Hardi (kanan) memuncak dengan menampar (alm) Paula Roumokoy, manakala “Yayah” anak gadisnya itu diketahui hamil setelah diperkosa berandalan kampung. Film ini memusatkan syuitng di Desa Cinunuk, Wanaraja Garut. (Dokumentasi Yodaz)
Sebuah adegan meyakinkan dalam film fenomenal “Dikejar Dosa’ (1974) karya Lukman Hakim Nain. Kemarahan (alm) Marlia Hardi (kanan) memuncak dengan menampar (alm) Paula Roumokoy, manakala “Yayah” anak gadisnya itu diketahui hamil setelah diperkosa berandalan kampung. Film ini memusatkan syuitng di Desa Cinunuk, Wanaraja Garut. (Dokumentasi Yodaz)

Historis Garut Dalam Perfilman Nasional (Bagian 1):

Oleh: Yoyo Dasriyo

WARGA Garut layak berbangga. Daerah ini memiliki historis panjang dalam riwayat perfilman nasional. Bahkan setelah Bandung membidani kelahiran film pertama “Loetoeng Kasaroeng” (1926) karya G. Krugers dan L Heuveldorp, konon di Garu pun muncul film berjudul “Toekang Sado”., Kecuali dikenal sebagai daerah tujuan lokasi syuting film, Garut pun mengalirkan sejumlah insan film dan sinetron, yang sukses membintang..Garut memagut percaturan tersendiri dalam industri film di negeri ini, terdukung dengan keragaman pesona alam kepariwisataannya.

Dari Garut pula, lahir nama (alm) R Husen – jurukamera film kenamaan semasa kejayaan NV “Perfini” pimpinan (alm) H Usmar Ismail. Film populernya tercatat “Harimau Tjampa” karya (alm) D Djayakusumah (1957). Dalam era 1970-an, fR Husen bertugas sebagai penata kamera ilm “Ibu Sejati” karya Fritz G Schadt. “ Pak Husen itu tuken orang Garut. Kampung halamannya di Cimasuk” begitu kesaksian yang pernah ditegaskan (alm) H Arman Effendy.

Magnetis Garut sebagai lokasi syuting film layar lebar, ditandai dengan film “Panggilan Tanah Sutji” (“Tauchid”) karya (alm) Drs H Asrul Sani (1961). Film berwajah religi itu, membintangkan aktor kondang (alm) H Ismed M Noor, Nurbani Yusuf, (alm) Aedy Moward, (alm) Mansyursah serta (alm) Marlia Hardi. Jelang lejitan film “Toha Pahlawan Banudng Selatan” (1962), reputasi Ismed M Noor mencuat bersama kemasyhuran film “Pedjoang”.

Film “Panggilan Tanah Sutji” pula yang jadi historis bagi karier (alm) H Arman Effendy saat tampil sebagai figuran, sebelum H Usmar Ismal membuka peluang berperan pembantu utama pria di film “Anak-Anak Revolusi” (1964) bersama (alm) Soekanro M Noor, (alm) Wahab Abdi dan (alm) Rita Zahara. Kehadiran Nurbani Yusuf dalam film “Panggilan Tanah Sutji”, menghangatkan keberadaan daerah Garut, karena pamor bintang berparas lembut itu tengah bersinar atas sukses film karya Usmar Ismail lainnya; “Asrama Dara”, “Anak Perawan di Sarang Penjamun” dan “Bajangan di Waktu Fadjar”.

Serampung “Tauchid”, tahun 1962 sutradara Usmar Ismail menggarap film “Toha Pahlawan Bandung Selatan”. Film perjuangan heroik yang dibintangi Ismed M Noor dan Mieke Widjaya itu, membidani kelahiran bintang benama Mila Karmila. Sungguhpun saat itu iklim industri perfilman masih berkabut kemelut, tetapi Garut kembali dijadikan lokasi syuting film perang “Segenggam Tanah Perbatasan (1965).

Film karya Djamal Halputra yang berlatar kawasan Citiis, Garut, diperani pasangan suami-isteri (alm) Dicky Suprapto dan (alm) Suzanna, serta (alm) Farouk Affero. Saat itu reputasi Suzanna belum berkelas “ratu film horor” Indonesia. Film itu pun bagian saksi titian karier aktris Widyawati, waktu masih dikenal sebagai penyanyi Trio Visca. Ketika rintangan gejolak politik membadai di negeri ini, memadamkan pula kegiatan perfilman di Garut. Namun saat kebangkitan pertama film nasional, atas sukses fantastis film “Bernapas Dalam Lumpur” (1970), kembali Garut dilirik untuk lokasi syuting film.

Lahir kemudian film “Si Buta Dari Goa Hantu” pertama karya Liliek Sujio, yang mendongkrak citra kepariwisataan Garut, karena film penggosok reputasi (alm) Ratno Timoer itu terhitung sebagai film yang memuat kebaruan teknik kamera modern. Penonton film tergoda berdecak kagum, menyaksikan sang pendekar “Barda Mandrawata’ (Ratno Timoer) bisa terbang. Belum lagi saat kepala Mata Malaikat” ( Maruli Stompul) bisa terlepas dari badannya. Di balik pamer teknik modern seperti itu, film “Si Buta” terdukung dengan pemotretan keindahan alami Cadas Gantung, Tutugan Leles dan obyek wisata Curug Citiis.

Kepopuleran komik karya Ganes Th, begitu berperan besar untuk sukses film “Si Buta” yang jadi identik dengan reputasi Ratno Timoer. Sejumlah flm lainnya mengalir digarap di Garut. setelah Lukman Hakim Nain menyutradarai film “Dikejar Dosa” (1974). Film ini menajamkan pamor (alm) Paula Roumokoy, drg Fadly dan (alm) Hendra Cipta. Film yang banyak dilatari alam Desa Cinunuk, Kecamatan Wanaraja itu terbingkai dalam sejarah, sebagai momentum film pertama yang memusatkan keseluruhan syutingnya di Garut. ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *