PARIWISATA BUDAYA

Nostalgia KA “Si Gombar” di Garut: Pernah Dirancang Buka Jalur Ke Bandung

Lokomotif uap “Si Gombar” dengan gerbong penumpangnya, tengah melintasi jembatan memburu Cikajang, Garut. Banyaknya medan jurang curam yang menganga di Garut Selatan, merintang upaya layanan jasa KA ke daerah pesisir selatan itu.  (Foto: Istimewa)
Lokomotif uap “Si Gombar” dengan gerbong penumpangnya, tengah melintasi jembatan memburu Cikajang, Garut. Banyaknya medan jurang curam yang menganga di Garut Selatan, merintang upaya layanan jasa KA ke daerah pesisir selatan itu.
(Foto: Istimewa)

Nostalgia KA “Si Gombar” di Garut: Bagian (3)

Oleh: Yoyo Dasriyo

ITU sebabnya, lengkingan hatong lokomotif KA terdengar nyaring, menyibak hiruk-pikuk aktifitas warga kota. Adakalanya hatong lok bagai “kereta malam”, saat kereta api telat datang dan kemalaman. Bunyinya pun mirip tangis memilukan. Atmosfer wajah perkotaan Garut di putaran tahun 1960-an, laksana kota dalam film western! Suasana kota kecil, yang berharga klasik. Saat layanan jasa KA Garut selesai, warga pun terusik lagi dengan cerita orangtua.

“Jaga kareta api teh bakal nepi ka Pameungpeuk. Mun geus nepi ka pakidulan, cirining nagari bakal subur ma’mur loh jinawi”. Namun kenyataannya, sebelum perkeretaapian di Garut mampu memanjangkan lakonnya menembus kawasan selatan, riwayat KA bahkan bermuara nestapa. Walau begitu, kesaksian (alm) M Endang – mantan petugas DKA (Djawatan Kereta Api) pernah menuturkan, bahwa sebenarnya tahun 1945 pemerintah pernah merancang penyambungan rel KA, dari stasiun Cikajang ke Pameungpeuk Garut.

Upaya memanjangkan rel sejauh 50 km itu terhenti, karena terhadang benturan teknis. Kebutuhan lahan untuk bentangan rel KA, terbenteng dinding pegunungan Batu Tumpang di Cikajang. Kecuali itu, banyak alur jembatan rel harus dibangun mengangkangi kedalaman lembah yang sangat curam. Empatpuluh sembilan tahun kemudian, angin segar pun bertiup. 18 Maret 1994, Menteri Perhubungan RI Dr Haryanto Dhanutirto mengungkapkan tentang kesiapan pemerintah untuk membangun lagi perkeretaapian di Garut.

Menurut Menhub selepas ziarah ke makam keluarganya di Cisurupan, Garut, pihaknya dalam waktu dekat akan melakukan survey untuk meneliti kelayakan kondisi jalur rel kereta api, dari Cibatu hingga Cikajang sejauh 50 km. Uniknya, sebelum itu terumbar kabar ganjil, tentang keretakan dinding pegunungan Batu Tumpang, yang dianggap bukan perkerjaan manusia. Banyak orang memaknai itu sebagai isyarat akan terwujudnya jalan kereta api ke pesisir selatan Garut.

Namun, obsesi kembalinya kejayaan perkeretaapian di Garut, justru bersambut kenyataan lain. Puluhan tahun sudah, legenda lok “Si Gombar” tak berdaya lagi membelah keramaian kota Garut. Segenap lapisan warga Garut kehilangan. Terlebih, karena kereta yang melintas limakali dalam sehari itu, mengental pula sebagai patokan waktu. Beralasan, jika warga kota ini pernah tersentak, ketika suatu sore di tahun 1984, KA muncul menarik gerbong tangki.

Berulangkali terjadi, kehadiran kereta api hanya dengan rangkaian gerbong tanki. Terkabar, Perumka kembali mengoperasikan KA Cibatu – Garut, untuk memasok BBM ke PTG. Namun, kemitraan Perumka dengan pabrik tenun legendaris Garut itu tak berlangsung lama, karena dua-duanya menilai tidak saling menguntungkan. Kondisi seperti itu pula yang terjadi tahun 1955, ketika KA Garut menjajagi layanan jasa trayek ke Bandung.

“Ternyata, pengadaan KA Garut – Bandung kurang diminati konsumen” begitu ungkap (alm) M Endang semasa hidupnya. Jelang penghentian layanan jasa KA, lengkingan ”Si Gombar” tak lagi terdengar nyaring. Gemuruh lok bertenaga uap itu, bagai helaan napas ketuaan yang harus tersenggal-senggal. Kondisi lok KA sakit-sakitan. Laju kereta tak bisa lagi berpacu dengan waktu. “Raksasa Hitam” Si “Gombar” itu pun ambruk.

Bahkan, orang mampu mengejar laju kereta yang bertolak dari Halte Wanaraja ke arah Halte Cinunuk, menyusuri rentang jarak 1 kilometer. Saat itu, kereta api bergerak lamban dengan sisa tenaga masa lampau. Seringkali pula terjadi, kereta terpaksa mundur lagi ke jalanan yang datar, sebelum menaklukkan tanjakan tajam memanjang dan menikung di kawasan Cikajang. Citra KA di Garut memburam. Banyak orang pun berpaling dari sarana transportasi legendaris itu

(Bersambung)***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *