PARIWISATA BUDAYA

Nostalgia KA “Si Gombar” di Garut: Saksi Masa Kesuburan “Dayeuh Garut”

Lokomotif KA Garut – Cibatu tengah membelah arus keramaian Jl Pasar Baru, yang terhubung ke “Pasar Garoet” (“Garut Plaza”). Dalam kekinian, suasana di sepanjang Jl Pasar Baru makin sesak  (Foto: Istimewa)
Lokomotif KA Garut – Cibatu tengah membelah arus keramaian Jl Pasar Baru, yang terhubung ke “Pasar Garoet” (“Garut Plaza”). Dalam kekinian, suasana di sepanjang Jl Pasar Baru makin sesak
(Foto: Istimewa)

Nostalgia KA “Si Gombar” di Garut: Bagian (6)

Oleh: Yoyo Dasriyo

BUKAN hanya di Pasar “Garoet”. Aksi hewan liar yang dipercaya selalu memburu orang berbaju merah, menebar kecemasan pula ke kawasan Jl Pasar Baru yang sarat delman dan becak.. Keramaian lokasi ini terhubung dengan luapan warga pedagang di Pasar Darekdok dan Pasar Hayam, yang hingga kini menyumbat badan Jl Mandalagiri ke pusat kota Garut. Kedua pasar di lorong kecil itu, masih menerbitkan masalah dalam pembenahan wajah perkotaan Garut.

Hiruk-pikuk sepanjang hari tak pernah mati. Jelang sore hingga malam, puluhan jongko pedagang berserakan menutup trotoar. Jalanan becek dan bau tak sedap. Di balik potret kumuh perkotaan yang melukai pencitraan “Kota Intan” Garut itu, peristiwa amukan hewan liar dari Kampung Pajagalan di Jl Guntur, senantiasa terbingkai dalam kepingan kenangan warga kota ini. Begitu banyak romantika yang tertinggal, dari kejayaan KA “Si Gombar”.

Belum lagi dengan suasana lain kedatangan gerbong barang. Saat kereta datang mengangkut rangkaian gerbong tangki minyak kelapa, dan gerbong bermuatan drum aspal, lintasan Jl Mandalagiri dan Jl Guntur seringkali diterpa gemuruh dari puluhan drum berisi minyak kelapa. Semua drum digelindingkan dari arah gudang DKA. Bunyi gemuruh bersahutan, menyumbat pendengaran. Tak pernah henti, bergantian drum digelindingkan ke jejeran kios kelontongan di Jl Guntur, yang sejajar dengan lokasi pasar.

Puluhan drum lainnya diangkut dengan roda besi alias “geletrek”. Tentu putaran roda besi di sepanjang jalan, beriringan seperti pawai. Gelindingan roda besi terdengar memekak. Namun para kuli pendorong drum, tak perduli kebisingan tak sedap di jalan lintasannya. Terlebih, saat arak-arakan drum kosong dipulangkan ke gudang DKA. Hampir saban hari, bunyi drum kosong bebas bersahutan. Brang-breng-brong di sepanjang jalan. Tiada kenal panas matahari, memanggang bumi Garut.

Di balik kebisingan itu, di Jl Mawar yang berseberangan dengan stasiun kereta api, tampak deretan gerbong barang dan gerbong tangki menghalang jalan. Semua gerbong memanjang di jalan raya. Badan Jl Mawar yang sempit pun makin sesak. Masa kelangsungan perkeretaapian di Garut, jadi bagian pula dari sejarah kemasyhuran jeruk Garut dan kesemek alias “apel” Cikajang. Gerbong bagasi tempat penampungan muatan jeruk dan kesemek, harus bergalau pula dengan luapan penumpang kereta yang berdesakan dari setiap halte.

Gerbong bagasi jadi alternatif, untuk tempat penumpang, meski harus berdiri. Apa boleh buat, mereka terpaksa menyusup di antara keranjang berisi jeruk dan kesemek. Bukan tanpa risiko! Pakaian dan tangan mereka mesti rela berlumurkan kapur, dari keranjang kesemek. Saat itu, buah kesemek yang memang “pesolek”, baru diangkut dari bak pengapurannya di Jl Mawar. Benar, perkeretaapian pun bersaksi dalam kesuburan “dayeuh” Garut masa silam.

Kereta api ‘Si Gombar’ yang melegenda di Garut, tak pernah kembali. Lengking hatong lok uap yang melemah, bersahut napas sesak di balik gemuruh mesin tua lokomotif itu, seumpama salam perpisahan panjang. Keperkasaan KA “Si Gombar” dalam menghela rangkaian gerbong panjang yang sarat penumpang dan barang, menepi pada garis finish yang mengenaskan! Bahkan jelang tutup sejarahnya, orang tak banyak lagi meminati layanan jasa KA “Si Gombar”.

Tigapuluh satu tahun berlalu, lengkingan hatong spesifik milik “Si Gombar” hanya abadi dalam riwayat di balik bangunan bekas Stasiun KA Garut, berlapis benteng Pasar Mawar – Mandalagiri (Pasar Gapensa). Stasiun kereta berganti wajah keramaian lain. Lempengan rel berbantal papan balok, harus kompromi dengan kebutuhan lain, menuturi gerilya pembangunan wajah kota. Sayang, bangunan permanen dari pasar panjang yang mengubur areal stasiun kereta itu, belum dioptimalkan untuk menyerap pedagang yang bertebaran di perkotaan ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *