PERISTIWA SOSIAL POLITIK

Warga Satu Kampung di Caringin Belum Nikmati Listrik

GRT_WARGA SATU KAMPUNG MASIH BELUM BERLISTRIK 016_0001
Gapura Garut ,- Sediktnya  sekitar  20 kepala keluarga (KK) di Kampung Bhayangkara, Desa Samudrajaya, Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut, Jawa Barat, hingga kini masih belum dapat menikmati pasokan listrik dari PLN.
Sebagian warga tetap bertahan dengan menggunakan alat penerangan seadanya seperti lilin atau lampu minyak tanah yang dibuat alakadarnya dengan sebutan mereka (Cempor).
Meski ada yang sudah menggunakan dan memanfaatkan energi tenaga surya, namun masih terbatas kepada warga yang memiliki kemampuan ekonomi cukup karena perangkat teknologinya masih terbilang cukup mahal.
Bagi ke-20 KK warga kampung tersebut berharap pemerintah dapat menyalurkan listrik untuk mereka karena sudah menanti bertahun-tahun tidak kunjung datang.
Kehadiran  listrik  bagi warga setempat sangat diperlukan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, terutama bagi kalangan anak-anak usia sekolah  yang memerlukan sarana penerangan untuk belajar di malam hari.
Febriyanti seorang siswi kelas IV yang bersekolah di SDN Cimahi 03 Kecamatan Caringin, mengaku tidak dapat belajar maksimal di malam hari, karena penerangan dirumahnya sangat minim hanya mengandalkan bantuan lilin atau lampu minyak .
“dirumah cuma menggunakan lampu minyak gak ada listrik,  cahayanya juga sangat kurang kalau dipakai untuk belajar,  mata menjadi pusing membaca buku,” tuturnya, Senin (8/9/2014).
Gadis cilik ini pun mengaku tidak mampu belajar dengan optimal di siang hari. Sebab, jarak sekolah yang cukup jauh, membuat dirinya baru bisa tiba di rumah beberapa jam selepas ia meninggalkan sekolah.
“Jam keluar sekolah sama yaitu sekitar jam 12.00 WIB. Namun saya baru bisa sampai rumah, paling cepat biasanya pukul 14.00 WIB, paling lambat pukul 15.00 WIB. Itu disebabkan karena jarak ke sekolah cukup jauh dan saya harus berjalan kaki melintasi jalan setapak di kebun dan perbukitan. Nah, kalau baru sampai di rumah seringnya saya kelelahan. Karena ini saya sering tidak belajar di siang hari,” ujarnya.
Mayoritas warga di kampung tersebut berprofesi sebagai buruh tani. Rata-rata warga miskin yang tinggal di kampung ini telah berusia senja.
“Itu sebabnya kenapa anak-anak kami yang muda atau lulus sekolah memilih bekerja ke kota. Hanya kami saja dan anak-anak usia sekolah yang masih tinggal dan menetap di kampung,” kata Mak Ipon (63).
Berbeda dengan warga yang menggunakan lampu minyak, seorang warga yang tergolong mampu, Soman (42) mengatakan, untuk penerangan di rumahnya, ia dan keluarganya terpaksa harus membeli perangkat pengubah tenaga surya menjadi listrik terlebih dahulu.
“Kami membeli alat yang harganya Rp1.950.000. Akan tetapi, tidak banyak listrik yang dihasilkan dari alat ini. Hanya 100 watt saja,” katanya.
Energi listrik yang dihasilkan alat ini, lanjutnya tidak dapat maksimal, hanya cukup digunakan untuk menyalakan satu bola lampu dan radio saja. Sementara televisi, keluarganya di rumah tidak memilikinya karena tidak biasa dinyalakan.***jmb

 Liputan GapuraTV

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *