PERISTIWA

UU Panas Bumi yang Baru Mendapat Reaksi Beragam di Garut

DSC02085
Gapura Garut,– Pemerintah harus cermat dalam menyusun peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi yang baru. Kehati-hatian dalam penyusunan peraturan tersebut patut dilakukan pemerintah, karena UU ini menghapuskan kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemanfaatan panas bumi untuk kepentingan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).

Direktur PT Garut Energi Hasanuddin mengatakan kekhawatirannya mengenai tidak adanya keterkaitan antara pemerintah pusat dan daerah, baik dari sisi kewenangan penyelenggaraan, pembinaan, hingga pengawasan. Ketidakterkaitan ini dia nilai akan berimplikasi luas dalam pelaksanaan pengembangan pemanfaatan panas bumi di lapangan.

“Memang ada sisi positifnya, yaitu pengurusan perizinan akan menjadi semakin mudah karena terpusat atau satu pintu nantinya. Namun ada implikasi lain yang harus dipertimbangkan, yaitu dampak sosiologis dari masyarakat daerah penghasil (panas bumi) dan pemerintah daerah. Kalau untuk persoalan keamanan, kita harus berurusan dengan siapa,” kata Hasanudin di Garut, Kamis (27/11/2014).

Hasanuddin juga menganggap dihilangkannya istilah pertambangan atau penambangan dalam kegiatan panas bumi sebagai upaya menghindari pengusahaan di kawasan hutan konservasi, bisa memicu persoalan baru. Persoalan baru ini disebutnya lebih bersifat materil substansial dari kegiatan hulu PLTP.

“Secara formil, kegiatan hulu PLTP dapat memasuki kawasan konservasi dan hutan lindung. Namun secara materil substansial, kegiatan hulu PLTP ini tidak dapat dilepaskan dari kawasan akademik pertambangan atau penambangan. Kegiatan itu sudah menjadi bahasan materi ilmu pengetahuan di berbagai perguruan tinggi yang telah melahirkan berbagai teori, sciene terapan, ilmuan, dan ahli hingga lahirnya PLTP itu sendiri. Sederhananya, berkegiatan di bidang panas bumi juga ada istilah eksplorasi, eksploitasi, dan lain-lain. Penghapusan istilah ini tentu juga akan berdampak secara teknis dalam operasionalisasi kewenangan. Lalu, kalau bukan kategori tambang, badan mana nanti yang mau mengurusnya,” paparnya.

Hasanuddin meminta agar penetapan UU baru tersebut ditangguhkan sementara dan kembali mengacu kepada UU no 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi yang ditandatangani oleh mantan Presiden Megawati Soekarno Putri. UU lama yang bersifat desentralisasi ini dianggapnya masih relevan untuk dipakai.

“Sebaiknya pakai UU lama dulu. Namun  bila ingin menetapkan UU baru, pemerintah harus cermat dan teliti dalam penyusunan peraturan pelaksananya. Selaku pengusaha, saya meminta kepastian yang tidak hanya bersifat yuridis dari pemerintah, melainkan juga jaminan sosiologis. Sebab dunia usaha sangat tergantung pada terbinanya hubungan baik dan saling menjaga berbagai kepentingan baik dengan pemerintah, masyarakat, dan juga lingkungan,” tuturnya.

Lain halnya dengan Hasanuddin, General Manager Policy Governmet and Public Affairs Chevron Geothermal Indonesia, Ltd (PT CGI) Paul Mustakim menyambut baik atas keluarnya UU panas bumi yang baru tersebut. Paul menilai UU Nomor 21 Tahun 2014 ini menunjukan perkembangan positif yang mendukung pengembangan panas bumi di Indonesia.

“Chevron sebagai produsen panas bumi di Indonesia akan mendukung segala upaya pemerintah untuk pengembangan panas bumi. Selama 30 tahun lebih beroperasi di Indonesia, kami selalu mengedepankan standar operasi dan lingkungan tertinggi. Kami berkomitmen untuk terus berkontribusi dalam pengembangan energi terbarukan dan ramah lingkungan,” tandasnya.***TG

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *