SENI HIBURAN

Setelah FFI 2008 Berlalu dari Bandung (Bag 2): Citra Piala Citra Arman Effendy Tanpa Kepastian

Serupa tapi tak sama. Potret kenangan (alm) H Arman Effendy dan (alm) Doddy Sukma, dalam kelangsungan suasana FFI 1985 di Soreang, Bandung Foto” Yoyo Dasriyo.
Serupa tapi tak sama. Potret kenangan (alm) H Arman Effendy dan (alm) Doddy Sukma, dalam kelangsungan suasana FFI 1985 di Soreang, Bandung
Foto” Yoyo Dasriyo.

Setelah FFI 2008 Berlalu dari Bandung (Bagian 2):

Oleh Yoyo Dasriyo

ARMAN, sebenarnya nama tokoh cerita film “Delapan Pendjuru Angin” (1957).yang diperani (alm) Bambang Irawan, Usmar Ismail mewariskan nama itu karena terkesan atas kemampuan pendatang dari Garut ini dalam penalaran dialog panjang. “Waktu itu, Pak Usmar menila saya sebagai orang kedua setelah Soekarno, yang memiliki kekuatan nalar berdialog panjang” kenang (alm) Arman Effendy. Namun, kelahiran nama baru “Arman Effendy” dalam film “Anak-Anak Revolusi”, tersandung petaka dunia perfilman nasional yang masih sesak napas. Produksi film negeri ini mengarungi masa peceklik berkepanjangan.

Kondisi seperti itu, memaksa karier sang aktor Garut terhenti selama delapan tahun. Lagi-lagi film berwajah perjuangan yang membuka peluang Arman kembali berkarier film. bersama film “Mereka Kembali” (1972) karya (alm) Nawi Ismail, Arman Effendy menandai kebangkitan kembali kariernya. Langsung berperan utama didampingi Grace Simon, (alm) Sandy Suwardi dan Rina Hassim. Ternyata, kebangkitan kariernya dijemput kemenangan ber-Piala Citra dalam FFI 1973, yang menuai kejutan atas sukses (alm) Benyamin S sebagai “Aktor Terbaik” bersama Rima Melati (“Aktris Terbaik”) dari film komedi satire “Intan Berduri” (alm Turino Junaedi).

Setelah memenangi Piala Citra, sejumlah film yang dibintanginya mengalir, seperti “Deru Campur Debu”, “Kabut di Kintamani”, “Hamidah”, “Ridho Alloh”, “Bandung Lautan Api”, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, “Kehormatan”, “Kemelut Hidup”. serta “Ayah Tiriku Ibu Tirimu”. Namun kelangsungan karier film Arman terhenti, sejak dirintang penyakit sejenis asam urat, yang menggejala di lokasi syuting film “Jawara” (1993) karya Liliek Sujio, -“Di luar dugaan saya, gejala penyakit itu terus mengembang, sampai mau jalan kaki saja, harus menggunakan tongkat…!” katanya lagi. Dalam kondisi fisik yang memprihatinkan, tak menyurutkan semangat profesinya.

Para pegiat film di Garut akan senantiasa mengenang jasa (alm) Arman Effendy, yang tahun 1986 pernah mendirikan HiSDRAFI (Himpunan Seniman Drama dan Film Indonesia) Garut. Dasar pendirian paguyuban itu, bertolak atas kesuburan potensi insan perfilman di Garut, serta derasnya daerah ini dijadikan lokas syuting film dan sinetron. HIsdrafi, pernah memproduksi tiga FTV “Dewi Sang Prajurit”,“Senyum Syania” dan “Bulan Yang Mulia”. Namun ketiga progam produksi itu tak sempat tuntas, karena kesibukan anggota Hisdrafi mendukung film “Bendi Keramat”, sinetron “Tragedi Bagendit” dan sejumlah produksi lainnya yang mengalir ke Garut.

Riwayat Hisdrafi yang dibentuk sebagai siasat pendirian PARFI terhenti, karena ketua Umum PB PARFI ( Persatuan Artis Film Indonesia), (alm) H Ratno Timoer menegaskan, saat itu PARFI belum memungkinkan didirikan di tingkat kabupaten. Tetapi tahun 2009, Garut terpilih sebagai kota pendirian PARFI Korda pertama di Jawa Barat, dengan kepemimpinan Rani Permata Dicky Chandra. Tak salah lagi, “Hisdrafi jadi cikal bakal pendirian Parfi Korda Garut, yang kini berganti DPC Parfi Garut. Arman Effendy berkapasitas penasihat.

Semasa hidupnya, Arman Effendy pernah merindu peluang berperan di kursi roda, seperti yang diperaninya dalam sinetron “Serpihan Hati” karya Iwan Wahab (1998). Sayang, peran sebagai suami Mieke Widjaya, yang menderita stroke itu terhenti hingga kini, karena tindihan krisis moneter. Terakhir, aktor film ini mendukung sinetron “Seorang Perempuan” (1999) karya Neneng Sudiarti dan “Hikmah” garapan (alm) Ipah Arifa, Kebetulan, kedua sinetron itu berlokasi syuting di daerah Garut.

Dalam kesenjaan usia, dan terpinggirkan dari percaturan keartisan film nasional, tahun 2009 Arman dikejutkan dengan anugerah “Lifetime Achievement Award” Festival Film Bandung.”Itu peristiwa terindah dalam hidup saya! Suasananya pun jauh lebih istimewa dibanding waktu saya menerima Piala Citra di FFI” cerita (alm) H Arman Effendy. Dengan mata berkaca-kaca, akor film ini pun mengaku, penghargaan yang diterimanya di FFB 2009, mampu memupus luka hatinya atas sikap panitia FFI. Sungguhpun sang aktor sudah tiada, namun bukan berarti Piala Citra FFI 1973 yang dimenanginya dibiarkan terbalut tanya berkepanjangan tanpa kepastian.

Pelaku estafet kepanitiaan Festival Film Indonesia, selayaknya turut menegakkan legalitas Piala Citra untuk Arman Effendy. Sejarah akan tetap bersaksi, bahwa FFI 1973 Jakarta pernah menganugerahkan Piala Citra untuk kategori Aktor/Aktris Harapan Pendatang Baru Terbaik. Hanya sekali itu, Piala Citra dihadiahkan FFI untuk kategori tersebut. Itu sebabnya, banyak kalangan insan film terlupa tentang perisiwa langka di awal perjalanan FFI 1973. Harapan tentang legalitas Piala Citra aktor film asal Garut itu, kini diperarttuhkan pula kepada Wakil Gubernur Jawa Barat H Deddy Mizwar, sesuai kapasitas dalam organisasi perfilman nasional..

(Selesai)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *