SENI HIBURAN

Siapa Artis Pelopor Adegan Cium Film Indonesia? Film “Djahoma” Mengguncang Kancah Film Nasional

Sebuah adegan kemesraan (alm) Sophan Sophiaan dan Widyawati dalam film “Pengantin Remadja’ (1971) karya (alm) Wim Umboh, yang diagarap apik dan artistik. Tokoh “Romi “ dan “Yuli” dari film ini, yang menjodohkan Sophan Sphiaan dan Widyawati dalam kehidupan sebenarnya. (Dokumentasi Yoyo Dasriyo)
Sebuah adegan kemesraan (alm) Sophan Sophiaan dan Widyawati dalam film “Pengantin Remadja’ (1971) karya (alm) Wim Umboh, yang diagarap apik dan artistik. Tokoh “Romi “ dan “Yuli” dari film ini, yang menjodohkan Sophan Sphiaan dan Widyawati dalam kehidupan sebenarnya.
(Dokumentasi Yoyo Dasriyo)

Siapa Artis Pelopor Adegan Cium Film Indonesia? (Bagian 1)

Oleh; Yoyo Dasriyo

CIUMAN dalam adegan film nasional, tidak lagi “ditabukan”! Bahkan dalam perkembangannya kemudian, “kissing scene” diumbar jauh lebih berani dan mendebarkan hati penonton filmnya. Adegan saling melumat bibir lawan jenis pun mengembang hingga “berpamer” aurat dan pergumulan “panas” di atas ranjang. Formula yang dianggap komersial dalam bisnis perfilman seperti itu, tak hanya meracuni perwajahan film negeri ini, tetapi pernah menuai petaka perfilman nasional yang sulit dikendalikan pada era-1970-an.

Sukses fantastis film “Bernapas Dalam Lumpur” produksi PT “Sarinande Film” (1970) karya (alm) Turino Junaedi, dimaknai sebagai tonggak riwayat pemicu kesuburan film nasional berlumurkan adegan seks. Fenomena sukses film dari novel karya Zainal Abdi itu, memang memuat kebaruan formula. Pencapaian “box office”, seketika membuka paradigma baru. Film yang berkisah tentang pelacur itu jadi lokomotif dari kebangkitan pertama industri perfilman nasional, sekaligus jadi historis awal kejayaan panjang (alm) Suzanna sebagai “bintang panas”.

Sebaris nama lalu bermunculan memanjangkan daftar bintang ranjang sejak generasi; Renny Asmara, Debby Chintya Dewi, Noortje Sopandi, (alm) Paula Roumokoy, hingga Yattie Octavia, Yenni Rachman, Dorris Callebaut, Eva Arnaz, Enny Beatrice, serta Meriam Bellina. Predikat “sutradara film panas” pun mengemuka seperti (alm) Motinggo Boesje, Ali Shahab, Matnoor Tindaon, maupun Bobby Sandy. Percumbuan vulgar memanas.

Pergumulan berahi di atas ranjang dalam film Indonesia, hampir mendominasi pasar film. Semua mengumbar nafsu bisnis, dalam kemasan berselera rendah. Bahkan gejolak produksi film “panas” pun, pernah terjaring larangan-edar! Itu gambaran dari tingginya dosis adegan film, yang terlanjur “membara”! Pagar aorat bukan lagi tirai pengaman, bagi sejumlah artis berperawakan sexy. Pamer sembulan dada montok dan paha mulus yang gempal dari sebaris artis berparas cantik, dijual sebagai barang dagangan yang menggoda naluri bisnis kalangan produser film negeri ini.

Siapa sangka, jika perfilman nasional akan berlumurkan adegan seks? Sedikit diingat orang, isyarat keberanian produser film untuk menjual adegan seks, sebenarnya menggejala dari film “Djahoma” (“Djakarta – Hongkong – Macao”) karya Turino Junaedi (1968). Dua tahun jelang “daya-jual” keberanian Suzana mendongkak sukses “Bernapas Dalam Lumpur. Hanya karena Mila Karmila berani bersentuhan bibir dengan (alm) Ratno Timoer, lalu film “Djahoma” pun menggetarkan buah bibir!

Terlebih, saat itu hanya tercatat enam produksi film. Lima film lainnya berjudul, “Tertawa Iblis”, “Nenny”, “Tikungan Maut”, “Sembilan” dan “Matahari Pagi”. Heboh film “Djahoma” meniup reputasi Mila Karmila, dengan predikat artis pelopor adegan cium film Indonesia! Secepat itu adegan ciuman jadi formula baru. Tahun 1969, dapur produksi film menghangat, hingga 10 judul. Jumlah produksi itu melesat tajam, seolah berpacu menapak sukses “Bernapas Dalam Lumpur”! Sejumlah produser film terbakar keberanian signifikan, hingga tahun 1971 mencatat 54 produksi film.

Semua mengalir deras, berpamer adegan yang semula dianggap “tabu”. Kondisi itu memanggang bara bisnis film. Nyaris tidak ada film nasional, tanpa pamer percumbuan “panas”! Film seperti “Laki-Laki Tak Bernama” karya (alm) Wim Umboh, dan “Mat Dower” (alm. Nyak Abbas Akup), menyulut popularitas Rahayu Effendy. Muncul Farida Syuman di film “Apa Jang Kau Tjari, Palupi?” karya (alm) Drs Asrul Sani. Dalam film itu, sang balerina yang menawan di film ”Perawan di Sektor Selatan” (1971), beradegan lepas busana di tepian pantai…

Penonton film “Nyi Ronggeng” karya (alm) Alam Rengga Surawidjaya pun tak mau berkedip, saat tubuh mulus (alm) Chitra Dewi telanjang dalam adegan mandi di bawah pancuran bambu. Penonon tak pernah tahu, jika adegan itu hanya kepandaian trik kamera…! Tak ketinggalan, (alm) H Usmar Ismail pun menghadirkan film “Ananda” (1970). Di film itu, Lenny Marlina sang pendatang dari Bandung, saling berlumat bibir dengan Franky Rorimpandey, di bawah kerindangan pohon nyiur…***

(Bersambung)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *