SENI HIBURAN

Persembahan Spesial PARFI Jabar, Rachmat Hidayat ”Bapak Perfilman Jawa Barat”.

Sebuah adegan film “Senyum di Pagi Bulan Desember” (1974) karya (alm) Wim Umboh, membintangkan tiga aktor bergelar “the best” : Rachmat Hidayat, (alm) Kusno Sudjarwadi dan (alm) Soekarno M Noer.
Sebuah adegan film “Senyum di Pagi Bulan Desember” (1974) karya (alm) Wim Umboh, membintangkan tiga aktor bergelar “the best” : Rachmat Hidayat, (alm) Kusno Sudjarwadi dan (alm) Soekarno M Noer.

Persembahan Spesial PARFI Jabar (Bagian 2)

Oleh : Yoyo Dasriyo

FILM “The Big Village” melambungkan sukses tak terbendung dalam keaktoran Rachmat Hidayat. Terdukung lagi dengan kemenangan pasar film “Ananda” (1970), yang secepat itu mengakrabkan penonton film dengan nama Rachmat Hidayat, di balik kemasyhuran Rachmat Katolo sang biduan melankolis dengan film-film “Kunanti Djawabmu”, “Tak Kan Lari Gunung Dikedjar”, “Romansa” dan “Di Balik Tjahaja Gemerlapan”.

Sejumlah film lain Rachmat Hidayat tahun 1971, seperti “Rakit”, “Dunia Belum Kiamat”, “Rina”, “Sanrego”, “Impas”, “Bertjinta Dalam Gelap”, “Yang Jatuh di Kaki Lelaki” dan “Lewat Tengah Malam”, kian menguatkan daya jual sang aktor Bandung itu dalam peta produksi film nasional. Bahkan sepanjang era 1970-an, banyak film mempertaruhkan duet Rachmat Hidayat dan Rima Melati. Kelahiran film “Sanrego” karya (alm) Bay Isbahi,bahkan memantapkan dominasi Rachmat Hidayat, meski filmnya hanya menempatkan aktor di peringkat Aktor Harapan I, di balik kejayaan (alm) WD Mochtar dalam “The Best Actor/Actrees” 1971.

Kepopuleran film “Sanrego” dengan latar alam Makassar, makin menghangat, dengan dukungan tiga peristiwa yang menerbitkan promosi “gratis”. Kecuali menuai gelar “The Best Actor” untuk WD Mochtar, film itu dibicarakan terkait pernikahan Rachmat Hidayat dan Norma Muchsin, serta kabar duka kepergian abadi (alm) Wahid Chan saat film itu berproses. Keaktoran Rachmat Hidayat kembali diperhitungkan di perngkat “the best” membayangi kejayaan aktor (alm) Kusno Soedjarwadi dari film”Perkawinan” (Wim Umboh) tahun 1972.

Saa itu, permainan Rachmat dalam film “Akhir Cinta Di Atas Bukit” karya (alm) Drs H Asrul Sani, menempatkannya sebagai Aktor Harapan II, setelah (alm) Soekarno M Noor (film “Jembatan Merah”). Pasang-surut peringkat aktor film, bukan hanya persoalan kualitas permainan, namun cermin pergeseran peluang keberuntungan perannya. Meski pemilihan gelar “the best” tinggal cerita, tetapi gelar bergengsi itu tak mudah tergusur wibawa FFI. Terbukti, Wim Umboh amat bangga mewujudkan obsesinya jadi orang pertama, yang membintangkan 3 The Best (Rachmat Hidayat, Kusno Soedjarwadi dan Soekarno M Noer) di film Senyum Di Pagi Bulan Desember (1974).

Itu cermin martabat The Best Actor, yang mampu mengusik naluri bisnis dalam film nasional. Film ‘trio aktor terbaik’ itu pun memenangi Film Terbaik FFI 1975 Medan, walau ambisi Wim untuk bergelar Sutradara Terbaik, dipatahkan (alm) Teguh Karya dari film “Ranjang Pengantin”. Peluang berperan di film “Melawan Badai” karya (alm) Sofia WD, mematangkan lagi akting Rachmat Hidayat di antara sederet film lainnya.

Reputasi Rachmat Hidayat mulai dibicarakan di arena Festival Film Indonesia (FFI), saat film “Apa Salahku” karya (alm) Sandy Suwardi Hassan, menuai gelar Aktor Pendukung Utama Terbaik di FFI.1977-Jakarta, mendampingi Widyawati (film “One Way Ticket”). Sebenarnya, film “Perkawinan Dalam Semusim’ karya (alm) Teguh Karya, menjanjikan peluang bergelar Aktor Terbaik. Sayang, film dengan kekuaran akting mengesankan dari Rachmat Hidayat itu, terlambat memburu jadwal FFI. Namun 12 tahun kemudian, keaktoran Rachmat Hidayat sukses dihargai Piala Citra Aktor Terbaik dalam film “Pacar Ketinggalan Kereta” (Teguh Karya) di FFI 1989 Jakarta.

Film “Boss Carmad” yang diperaninya kemudian, menempatkan sang aktor jadi Aktor Pembantu Utama Terbaik di FFI 1991. Simbol prestas terpujinya Itu, harga mahal yang ditebus dengan perjalanan panjang. Sejumlah film lainnya seperti “Mana Yang Benar”, “Krakatau”, “Badai Pasti Berlalu”, “Mat Peci Pembunuh Berdarah Dingin”, “Rhoma Irama Berkelana”, “November 1828, “Kembang Semusim”, “Gadis Marathon”, “Tali Merah Perkawinan”,“Ketika Cinta Harus Memilih”, “Lebak Membara” serta “Titian Serambut Dibelah Tujuh”, makin memanjangkan daftar film Rachmat Hidayat.

Uniknya, meski bukan film istimewa, judul film “Mat Peci” jadi identik dengan sosok Rachmat Hidayat hingga kesenjaan usianya. Kini era kejayaan panjang Rachmat Hidayat di ladang film nasional sudah lama berlalu, tetapi sejarah perfilman nasional bersaksi, tentang reputasi dan dedikasi sang aktor dalam perjalanan perfilman nasional. Rachmat Hidayat jadi legenda aktor film nasional yang bertahan hidup di Bandung. Aktor ini memang layak diakui sebagai “bapak perfilman”Jawa Barat *** (Selesai)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *