SENI HIBURAN

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla : Ancaman Sang Bintang Jelang Tandang

Potret kenangan “ngabuburit” dengan “mega bintang” di Bandung, 2 Mei 1987. Dari kiri; Yoyo Dasriyo, (alm) Nike Ardilla, Misbach, Lady Avisha, dan Cut Irna bergaya di belakang mereka. (Dokumentasi: Yodaz)
Potret kenangan “ngabuburit” dengan “mega bintang” di Bandung, 2 Mei 1987. Dari kiri; Yoyo Dasriyo, (alm) Nike Ardilla, Misbach, Lady Avisha, dan Cut Irna bergaya di belakang mereka. (Dokumentasi: Yodaz)

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla : Bagian 4

Oleh :Yoyo Dasriyo

Dengan mimik serius, Nike berakting menghambur kalimat sekehendak hatinya. Saya tertawa, membiarkan kelucuan gayanya. Namun secepat itu Nike menyergah, sambil mendekat. Matanya yang indah menatap tajam. Tangannya berpantomim, meniru gaya merokok. Saya pun menggeserkan tempat duduk. Menjaga jarak dari jangkauannya. Saya harus siap mengelak, karena tangan gadis itu sering cepat menyambar. Mendaratkan cubitan gemasnya. “Kenapa you cercawa …? Saya cidak suka icu..! You know..?” katanya.

Ibu Nike tertawa lepas, menyaksikan kelucuan tingkah anak gadisnya. Saya iseng juga meladeni guyonan itu. “Cidak mau…! Saya cidak mau cunduk sama you punya perincah, karena saya banyak kerjaan di Jalan Ascrina Raya..! You know…?” Nike yang saat itu mempopulerkan nama Nike Astrina, mendadak sewot. “Eh Ascrina itu saya punya nama, and.. cidak boleh jadi nama jalan! You cidak boleh sembarangan ‘ya… Itu nama directris ucama!” balasnya sengit, namun kemudian Nike tertawa.

Sepanjang guyonan itu tergelar, ibu Nike terpaksa berulangkali bermohon maaf, atas aksi canda anak gadisnya. Lucunya, Nike justru berbalik mencandai ibunya. “Oh ibu Nining cidak perlu cemas…! Cidak perlu minca maaf ‘ya..” katanya diiring derai tawa nyaring. Ny Ningsihrat Kusnadi mencibir. Cibiran itu justru membuat tawa Nike makin nyaring. Rupanya, canda sang gadis belum selesai. Nike kembali membalik. Saya mencoba diam. “You musci tahu, saya akan keliling ke Hongkong, Perancis, Paris, cerus ke London..” ujar Nike, menuturi hitungan dengan jari tangannya.

Lagi-lagi ibunya mencibir, lalu tertawa kecil. Sebelum aksi candanya selesai, saya memotong leluconnya, dengan menjual kembali nama Ciamis. “Oh, sibuk sekali ‘ya..! Capi kapan nyonya mau ke Ciamis…?” Nike cepat menyergah “No…, no.., saya bukan nyonya! Uuuuh…, sebel, Ciamis dibawa-bawa, lagi. Dasar, orang Garut…!” Nike buang muka, dan beranjak dari ruangan tamu. Kesukaan canda almarhumah menirukan aksen bicara orang asing berbahasa Indonesia, terdukung lagi dengan mengolok-olokkan gaya keseharian (alm) Denny Sabri, yang pernah lama berdomisili di Jerman.

Itu pun bahan guyonan Harry Tasman, di depan Denny Sabri dan Nike. Jika kami sudah berkumpul di Jl. Lodaya 3, Bandung, sebagai markas “Denni’s International”, atau di rumah Nike, seakan tiada waktu tanpa canda. Rumah hunian keluarga (alm) Nike Ardilla di Jl Soekarno Hatta, (Parakan Saat 24), Cipamokolan, Bandung, pernah lama jadi “rumah kedua” saya setelah Garut. Sejak Nike masih sekolah di SMP Negeri 30 Bandung, hingga sukses menuai reputasi gemilang di kancah keartisan, rumah bersejarah yang kini tergerus areal lahan perumahan itu selalu jadi tempat persinggahan.

Rumah itu saksi bisu, dari kebersamaan panjang bertabur canda. “Sekarang mah tidak ada orang, yang menyembunyikan lagi sepatu sama tas ‘Kang Yoyo…!” kenang Ny Ningsihrat Kusnadi sambil tersenyum. Senyum atas kenangan dari “kenakalan” canda anak gadisnya. Di balik pesona kecantikan wajah, dan kemasyhuran lagu-lagunya yang merawankan sukma, tersembunyi tingkah kelucuan canda Nike Ardilla. Senang mengumbar celoteh ceplas-ceplos. Terkadang berulah nakal, hanya untuk menciptakan gelak tawa dalam keakraban.

Almarhumah memang “gadis oces”! Namun waktu dirinya tersudut, atau termakan lelucon, Nike berbalik uring-uringan. Tak cukup dengan tingkah ketus, dan menghujankan ledekan, tangan dan kakinya pun turut bicara. Adegan “bak-buk” ringan tergelar. Saling berbalas cubitan. Adakalanya pula Nike membiarkan pukulan ringan, sambil menghitung jumlah pukulan yang menerpa badannya. Saat saya lengah, Nike membalas pukulan itu, dengan jumlah yang lebih banyak lagi…

Kalau pukulan balasannya bisa dihindarkan, Nike jengkel sekali. Lalu mengancam: “Awas lho kalau nanti ke rumah Eneng lagi…! Niiiih….!” Nike kecut sambil mengepalkan tinjunya. Saya biarkan dan melupakan “ancaman” itu. Rupanya lain dengan Nike. Meski terpisah waktu lama, “ancaman” berisi dendam itu masih juga diberlakukan. Begitu suatu hari tandang lagi ke rumahnya, Nike langsung menjemput saya dengan pukulan bertubi-tubi. Lagi-lagi saya sibuk menepis. Nike tertawa puas. Waktu mau dibalas, gadis belia itu berlari. Merengek manja memanggil ibunya ***
(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *