SENI HIBURAN

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla : “Pondokan” Mengeringkan Kecewa

Nike Ardilla (ketiga dari kiri) masih figuran di antara bintang Tetty Liz Indriaty (ibu Marcella Zalianty), Febrina dan Nani Sugianto. di lokasi syuting drama “Pondokan” (1987),di Stasiun  KA Bandung. (Foto Dokumentasi Yodaz)
Nike Ardilla (ketiga dari kiri) masih figuran di antara bintang Tetty Liz Indriaty (ibu Marcella Zalianty), Febrina dan Nani Sugianto. di lokasi syuting drama “Pondokan” (1987),di Stasiun KA Bandung. (Foto Dokumentasi Yodaz)

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla : Bagian ke 9

Oleh: Yoyo Dasriyo

Bersama Deddy Dores, (alm) Deddy Stanzah, Gina Kasmiri, Lady Avisha, Euis Cahya dan Barry Essex, Nike berlagu “Lupa Diri”. Namun lagu kemasan musik Ferry Atmadibrata, Joko (Freedom), Yanto (Giant Step) dan Sentot itu, jarang dinyanyikannya. Peluang awal rekaman itu, buah kemenangan Nike di Festival Musik Tiga Warna” 1987 Bandung. Pihak “Doank Record” lalu menghadirkannya dalam album “Bandung Rock Power”. Tetapi dalam aksi pentas musik rock-nya di sejumlah kota, termasuk Aceh dan kawasan Sumatera Utara, Nike lebih suka berlagu “Stop Cuap-Cuap”.

Padahal, di balik kepopuleran lagu itu, tersimpan luka hati Nike. Hanya karena merasa, kariernya “terlangkahi” Yossy! Itu lanjutan kekecewaan Nike, setelah gadis ini pernah dinyatakan gugur dalam testing acara “Wajah Baru” di studio TVRI Pusat. Sebuah acara musik, yang menjanjikan seorang pendatang bisa tampil di layar kaca, sekaligus membuka peluang dilirik produser rekaman. “Waktu itu, saya masih menangani acara musik di TVRI. Suara Nike sih ketahuan sekali masih di bawah umur…” cerita Adhe Novie, saat jumpa di Garut, dua tahun lalu.

Denny Sabri pernah berkisah, Nike sengaja didaftarkan mengikuti seleksi paket “Wajah Baru”, dengan mencantumkan usia 16 tahun. Siasat itu amat terdukung penampilannya, yang lebih dewasa dari umur sebenarnya. “Begitu suaranya di-test.., ketahuan juga umur Nike masih kecil. Baru duabelas tahun!” Denny Sabri tertawa. Nike menangisi kegagalan itu. Terlebih, karena Yossy Lucky dan Micky Rainbow pendatang lain dari Bandung, dinyatakan lulus testing. Apapun hasilnya, namun tak menyusutkan semangat Nike dalam berkarier.

Bara hasratnya untuk sukses di kancah keartisan, terhibur pula dengan tawaran main film dan sinetron. Hati Nike berbunga-bunga. Namun tak semudah itu Denny Sabri melepas Nike, untuk menerjuni dunia seni peran. “Saya optimis, Nike akan jadi artis besar seperti Meriam Bellina, yang pernah saya tangani. Tapi dia mesti matang dulu di pentas musik rock..” tegas Denny Sabri. Nike Astrina harus bersabar menjalani program pengorbitan. Sekian lama mesti naik-turun pentas musik hingar-bingar, hingga Ny Ningsihrat Kusnadi seringkali mengeluhkan proses panjang, dalam titian karier gadis itu.

“Kapan atuh Neng Nike teh bisa sukses? Apa mungkin Si Eneng bakal sukses ya.? Tapi rekaman juga sudah keduluan sama Neng Yossy…” katanya cemas. Keluhan senada itu pula, pengaduan Nike ke ibunya. Memang, Nike pernah menjalani proses karier yang melelahkan, tanpa imbalan setimpal. Di sisi lain, penangguhan karier filmnya makin menebalkan kekesalan. Belum lagi karena Denny Sabri seakan tiada henti menghadirkan bibit-bibit artis lainnya. “Padahal di Jakarta sudah banyak yang ngajak Si Eneng main film, tapi Kang Denny masih belum mengizinkan juga. Ah teuing, Mamih mah bingung mikiranana….!” Ibu Nike berkeluh dingin

Bukan tanpa alasan, Denny Sabri menahan peluang berkarier film untuk Nike Ardilla. Sang legenda pemandu bakat keartisan ini, menunggu kematangan usia remaja Nike. Tak perduli meski Nike makin kesal, saat Denny melahirkan pendatang lain, yang dipopulerkan dengan nama Nia Astarina. Mirip nama Nike Astrina. “Itu sengaja untuk historis karier Nia, karena saya temukan Nia setelah Nike Astrina” ungkap Denny Sabri. Namun Nike tak merasa dipersaingkan, karena Nia Astarina dihadirkan di kubu musik pop. Di tengah derasnya temuan bibit artis “Dennis International” itu, Nike dan ibunya berusaha meluluhkan keteguhan prinsip Denny Sabri, yang selalu memprogramkan pematangan karier di pentas musik keras.

Keteguhan Denny pun sedikit longgar. Nike diizinkan tampil “sekilas wajah” dalam paket drama seri “Pondokan” (1987), yang berlokasi di Bandung. Kelonggaran itu terdukung dengan pamor tayangan drama “Pondokan”, yang banyak diminati penonton TVRI Pusat, selepas drama seri “Losmen”. Lokasi syuting Nike di kawasan Stasiun KA Bandung pun, membanggakan (alm) RE Kusnadi. Bisa dipahami, karena ayah Nike, karyawan Pusdiklat PJKA Bandung. Alangkah suka hati sang gadis, bisa main drama berbintangkan Nani Sugianto, Tetty Liz Indriati (ibu Marcella Zalianty) dan Febrina.

Drama seri itu yang menandai Nike berakting di depan kamera film, sebelum terjaring ke film “Kasmaran” garapan Slamet Rahardjo. Walau begitu, masih juga tak membebaskan karier Nike terkembang di kancah film nasional. “Kalau mau jadi besar, Nike harus jadi bintang utama! Jangan tampil dalam peran-peran kecil lagi..” kata Denny Sabri. Karenanya, pemandu artis ini, tak mau melepas Nike untuk film “Bendi Keramat” (1988). Padahal, saya yang menulis cerita dan skenario film komedi garapan (alm) A Harris itu. Sebagian besar syuting film berbintangkan Lidya Kandou dan (alm) Basuki itu pun, berlokasi di Garut.

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *