SENI HIBURAN

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla : Tak Mau Bersaing Tinggi Badan

Sang “Mega Bintang” (alm) Nike Ardilla dan Yoyo Dasriyo (1990). Siapa sangka jika Nike mengangkat tumitnya, agar tampak lebih jangkung, waktu berfoto di samping rumahnya.. (Dokumentasi Yodaz)
Sang “Mega Bintang” (alm) Nike Ardilla dan Yoyo Dasriyo (1990). Siapa sangka jika Nike mengangkat tumitnya, agar tampak lebih jangkung, waktu berfoto di samping rumahnya.. (Dokumentasi Yodaz)

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla ; Bagian ke 7

Oleh: Yoyo Dasriyo

Nike Ardilla terus menertawai saya. Justru gadis ini jadi merengek manja, kalau saya berhenti nyanyi tanpa suara itu. “Aaaah…, lagi atuh! Ayo dooong…!” pintanya. Tak henti tangannya menggoyang lengan saya. Ibu Nike tersipu-sipu. Saya beraksi lagi. Nyanyi tanpa suara, menuturi syair lagu lainnya. Kali ini Nike malah mengancam: “Awas, ‘nggak boleh salah! Kalau salah, rasain nanti..!” katanya. Namun, Nike tak mau kalah. Meski saya benar menuturi pengucapan syair lagu itu, gadis ini ngotot menuding saya berbuat salah.. Lagi-lagi tangan Nike beraksi.

Seenaknnya melabuhkan pukulan beruntun. Saya biarkan sambil menghitung jumlah pukulannya. Baru saja mau membalik untuk membalasnya, Nike tertawa dan menyusupkan lagi badannya ke balik ibunya. Cepat pula kakinya dilipat. Tangan saya pura-pura terus memburu. “Ah ‘nggak mau, ‘nggak mau, ‘nggak mauuu….! Ampuuun… atuh, ampuuun…!” Nike menyilangkan kedua tangan, untuk menutupi wajahnya. Semua orang di dalam mobil itu tertawa. Jelang pagi sesampai di Cirebon, giliran Denny Sabri beraksi nakal. Mobil yang kami tumpangi, menepi di depan mulut gang:

“Sebentar, ada perlu dulu…! Tunggu ‘ya…!” Denny terburu-buru turun. Entah ke mana! Lelah perjalanan dan beban kantuk, terasa memberat. Namun sekian lama menunggu, Denny Sabri tak kunjung datang juga. Tanpa sadar terlelap, hingga hangat matahari pagi menerpa wajah. Kami tersentak. Kepala pening. Mata pedih. Nike terbangun, merengek-rengek kesal. Seseorang datang, mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil itu. Kami dipersilakan istirahat di rumahnya. “Oom Denny-nya ke mana sih? Aduh cepetan dooong!” Nike kecut dan memecahkan kejengkelannya.

Ternyata, semua orang “dikerjain”. Kami terperangkap penantian dalam mobil. Tak tahu, jika (alm) Denny Sabri tidur nyenyak di rumah Alan, pemain band dari Cirebon. Aksi guyonan (alm) Nike Ardilla, memang terdukung dengan kesukaan canda Denny Sabri. Tak jarang pula, pembina kariernya itu mengumpan canda untuk Nike. Sebagai pengawal setia anak gadisnya, Ny Ningsihrat pun terpaksa sering meminta maaf, kepada orang yang dicandai Nike.

Ibu Nike mencemaskan lelucon spontanitas gadis itu, dianggap lancang atau kurang berkenan. Namun canda, tidak pernah terpisahkan dalam keseharian Nike. Suatu siang, Nike dan sederet artis remaja lainnya bersiap pamitan dari Garut, untuk memburu Tasikmalaya. Di saat Denny Sabri dan semua orang berkemas-kemas di rumah saya, gadis itu malah berkelit-kelit menuturi langkah saya. Sambil tertawa kecil, tangannya membawa pulpen dan selembar kertas, lalu buru-buru minta saya membungkukkan badan.

Di depan ibunya dan (alm) ibu saya, punggung saya digunakan “Neng Geulis” sebagai meja tulis. Nike tertawa, menulis di punggung saya. Kecuali suka bergurau, gadis itu sangat gemar berfoto. Tak perduli belum mandi, atau belum berdandan. Itu pernah terjadi di rumahnya. Nike melonjak ceria, saat saya ajak berfoto di teras rumahnya. Sang gadis cepat berdiri bersebelahan. “Tapi awas, tangannya jangan megang ya! ‘Nggak mau, Eneng belum mandi…” pintanya manja. “Alaaa.., banyak aturan-lah! Mandi atau ‘nggak juga, Eneng mah sama sih…!” canda saya.

“Eh pokoknya ‘nggak mau, ! Eneng ‘nggak mau dipegang..!” balasnya lagi kecut, meski tetap berpose. Pada kesempatan lain di ruangan tamu rumahnya, berfoto berdua Nike malah harus terpisah jarak. Saya tidak boleh duduk merapat. Padahal, saya ingin punya foto berdua Nike yang serius. Saya turuti saja apa maunya. Berfoto tanpa gairah. membiarkan Nike bergaya sendiri. “Uuuuh.., marah ‘ya! Ya udah…” Nike pun beranjak pergi.

Lain lagi dengan ‘ulah suatu siang di samping rumahnya. Denny Sabri minta Nike berfoto. Pemotretan “asal jadi” saja, hanya memanfaatkan sisa negatif film di dalam kamera manual. Saya memburu peluang itu untuk berfoto berdua. Segera saja berdiri bersebelahan. Diam-diam, saya mengangkat tumit, untuk mengimbangi tinggi badan Nike. Namun siasat itu gagal, karena Denny Sabri menahan tawa. Rupanya Nike curiga. Gadis ini melirik posisi saya, yang dianggap lebih tinggi dari sebenarnya. Nike menertawai siasat itu.***
(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *