SENI HIBURAN

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla : “Galau” Yang Penah Menggalau

Ny Ningsihrat Kusnadi dan (alm) Nike Ardilla. Di balik paras rupawan, gadis jenjang ini penghambur canda. Terkadang, doyan berulah “nakal”...  (Foto: Dokumentasi Yodaz)
Ny Ningsihrat Kusnadi dan (alm) Nike Ardilla. Di balik paras rupawan, gadis jenjang ini penghambur canda. Terkadang, doyan berulah “nakal”…
(Foto: Dokumentasi Yodaz)

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla  Bagan ke 13

Oleh: Yoyo Dasriyo

Reputasi cemerlang Nike sulit ditandingi artis pesaing lainnya. Perjumpaan saya dengan sang gadis pun terkendala… Pikir saya, kalau hanya sekedar untuk bergurau, buat apa bertandang ke rumah Nike? Saya pun harus menghindari tudingan negatif, yang merugikan citra profesi. Ada juga perasaan, mungkin saya tak dibutuhkan lagi. Nike tidak punya waktu mengumbar kerinduan canda, seperti hari-hari kemarin. Namun dugaan itu dipecahkan, dengan surat lainnya yang kembali diantarkan Denny Sabri.

“Nih.., surat dari Nike! Dia bilang, you sombong…!” katanya. Saya menertawai tudingan itu. Di dalam amlop surat itu, saya temukan kertas surat berlipat tebal. Lipatan kertasnya seperti surat remaja bercinta. Saya kira, surat itu memuat tuturan kalimat panjang. Ternyata, beberapa lipatan awal kertas itu dibiarkan kosong. Di tengah lipatan lain, baru tertulis: “Salam say….” Saya buka lipatan berikutnya. Tak ada juga kalimat lanjutan, kecuali tiga huruf tertulis di tengah kertas suratnya: “….. yur…!”. Saya bergeleng kepala.

Lipatan kertas surat itu saya perlihatkan ke Denny Sabri. Sang pemandu karier Nike pun tertawa. Benar, di balik kemasyhurannya, Nika masih saja mencandai saya. Beberapakali, saya lalu menyinggahi rumah Nike, tetapi sang bintang tak pernah saya jumpai. Kedatangan saya selalu dikabarkan ibunya via telepon, hingga suatu sore ibu Nike berpesan. “Si Eneng minta jangan dulu buru-buru ke Garut. Tunggu saja di rumah…!” katanya. Namun saya meminta Ny Ningsihrat Kusnadi, untuk mengabari saya, jika suatu hari anak gadisnya ada di rumah.

Di tengah kejayaan karier Nike Ardilla, Denny Sabri tidak berpangku tangan. Justru, mantan redaktur majalah populer “Aktuil” Bandung itu, makin gigih bergerilya menggali simpanan potensi artis di banyak daerah. Kunjungan Denny Sabri dan sejumlah calon artis pendatang, selalu bergantian dibawanya mampir ke rumah saya. Waktu kedatangannya tak menentu. Terkadang, hadir tengah malam, atau jelang dini hari. “You pasti suka yang ini…!” kata Denny suatu malam, dengan wajah berseri-seri. Cepat membuka tas, dan menyodorkan sejumlah foto artis unggulannya.

Saya terpana. Seraut wajah gadis rupawan itu, berdaya pesona komersial. Bahkan, paras pendatang yang ditemukannya di Semarang, Jawa Tengah itu, mirip paduan Paramitha Rusady, Nike Ardilla dan Dessy Ratnasari. Meike, nama artis baru itu! Gadis jenjang kelahiran Bogor, 24 Mei 1974, yang dikenal pula sebagai Qoriah di Semarang. Beralasan, Denny mempertaruhkan Meike, sebagai artis tandingan Nike Ardilla. Diam-diam, Meike ternyata sudah merampungkan album rekaman pertamanya, yang menjual lagu “Galau” karya Deddy Dores/Rangga.

Saya dimintanya, untuk mendukung kehadiran artis andalan barunya itu. Secepat itu, lagu “Galau” mencuat di kancah musik slow rock. Pesona dan lejitan pamor Meike, sempat melapis kemasyhuran Nike. Lejitan artis baru itu menambah gemerlap percaturan “lady rockers” Indonesia 1991. Ibu Nike pun tak urung memperhitungkan kehadiran Meike, “Sekarang mah ada Meike ya! Namanya seperti Nike. Wajahnya mirip Si Eneng, lagi. Ah.., bisaan Kang Denny mah…Kumaha atuh? Apa Kang Denny mau berpaling ke Neng Meike?” Ibu Nike terdiam.

Sebentar pandangannya menerawang jauh. Sukses lagu “Galau” yang mengangkat kepopuleran Meike, seakan menggalau ketenangan. Terlebih, lejitan Meike pun didukung lagu komersial dan kemasan musik Deddy Dores. Benar, popularitas Meike memang menghangat. Namun, gadis bernama lengkap Meike Rossame itu, belum siap hijrah ke Jakarta. Masih mau bertahan menetap di Semarang, sebelum selesai sekolahnya di SMA. Tak lama, lagu “Galau” hanya mencuat semusim lalu! Pamor pendatang berparas ayu itu pun begitu cepat pudar.

Orang tak banyak ingat lagi nama Meike… Sebaliknya, peringkat Nike Ardilla makin tak tergoyahkan di pentas musik slow-rock Dikuatkan lagi dengan derasnya aksi Nke sebagai bintang iklan, film dan sinetron. Sukses itu, sempat menggalau saya, jelang Hari Pers Nasional (HPN) 1992 bertuanrumah di Bandung. Ujian kredibilitas saya pun menganga…Padahal, saya tak pernah berpamer “sok akrab’ dengan Nike Ardilla. Namun, hari-hari jelang peringatan Hari Pers Nasional 1992 digelar, mendadak tak ada lagi alasan saya untuk menunda kunjungan ke rumah Nike. ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *