SENI HIBURAN

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla : Kemasyhuran Memisah Perjumpaan

Adegan (alm) Nike Ardilla dan (alm) Ryan Hidayat, dalam film “Nakalnya Anak Muda”. Reputasi Nike melebar ke percaturan film nasional dan sinetron. (Foto Dokumentasi Yodaz)
Adegan (alm) Nike Ardilla dan (alm) Ryan Hidayat, dalam film “Nakalnya Anak Muda”. Reputasi Nike melebar ke percaturan film nasional dan sinetron.
(Foto Dokumentasi Yodaz)

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla : 12

Oleh: Yoyo Dasriyo

Sekian lama, rumah Betharia Sonatha pun pernah dijadikan “rumah kedua saya. Di rumah Nike, gadis berkaos putih dengan hiasan gambar dan nama Nike Ardilla itu, sesaat memandangi saya yang menyandang kamera dan tas pakaian. Saya balik bertanya keberadaan Nike dan kedua orangtuanya. “Ooh Papi sama Mami lagi ke Palembang. Teh Nike mau show di sana…!” balas remaja itu. Seorang remaja lainnya buru-buru menyodokan buku tamu. Saya diminta mengisi buku tamu. Perasaan tak enak sempat mengganjal. Hati kecil berontak.

Tak mau menerima perlakuan seperti itu. Cepat saya tanyakan Deden dan Alan Yudi, dua kakak kandung Nike. Tetapi mereka sedang ke luar rumah. Saya katakan, bahwa saya bukan tamu lagi di rumah Nike. “Sejak Nike masih SMP, saya terbiasa tidur di kamar depan itu” Saya menunjuk kamar, yang dindingnya membatas ruangan tamu. Mereka terdiam dan kemalu-maluan. “Maaf., saya ‘nggak tahu, ‘Pak!” balas beberapa remaja itu penuh hormat. Rupanya, sore itu penggemar Nike dari berbagai daerah dalam wadah NAFC (Nike Ardilla Fans Club), melakukan kunjungan ke rumah bintang idolanya.

Niat menginap di rumah Nike, mendadak sirna.. Tanpa pribuminya, saya kehilangan kenyamanan suasana. Saya balik saja ke Garut, setelah berpesan agar Nike segera mengabari kesiapan untuk syuting film di Bogor. Tetapi jadwal produksi film “Selirih Bisikan Kasih”,tak bisa lagi menunggu Nike. Lagi-lagi, saya gagal! Peluang berperan utama itu membuka kehadiran Vinny Alvionita, didamping (alm) Jack Maland, Renny Djayoesman. Peran itu yang menguji kemampuan Vinny.Penampilan awal Vinny Alvionita di film itu, merebut perhatian sutradraranya, untuk kembali dibintangkan dalam sinetron miniseri “Kedasih” di TPI (1991).

Semula untuk film “Selirih Bisikan Kasih”, saya akan membarengi Nike Ardilla, dan Lela Monica dari Bandung. Kenyataannya saya tak bisa hadir di Bogor bersama kedua bintang itu. Lela Monica, bintang sinetron yang tengah bersinar itu, terkabar malah meluncur sendirian…. Dalam perjumpaan serampung film itu, Ibu Nike menyesali peluang karier film untuk anaknya harus berlalu. “Bikin lagi atuh cerita film lainnya, tapi jangan kemewahan!! Bosen.. Si Eneng jadi pemeran anak gedongan wae. Mamih mah ingin Si Eneng teh jadi gadis desa, terus syutingnya di sawah..” katanya.

Peran yang saya tawarkan buat Nike pun bukan potret anak gedongan, namun gadis pedagang pisang goreng yang berkeliling perkampungan. Tokoh gadis yang selalu menerima perlakuan kasar ayah tirinya itu, mengingatkan orang pada awal penampilan Lenny Marlina dalam film “Ananda” (1970). “Aduh sayang syuting-nya ‘nggak bisa nunggu Eneng..! Bikin lagi atuh seperti itu…! Kalau nanti bentrok dengan tawaran film lain, biar Neng Nike pilih tampil di film yang jadi orang pedesaan itu” Ibu Nike terus membujuk. Namun kemasan cerita semacam itu, kalah bersaing dengan formula kemewahan.

Reputasi Nike Ardilla kian cemerlang. Banyak rekan seprofesi mencandai saya kecipratan rezeki. Padahal, saya masih seperti dulu. Tak pernah berharap atau meminta, Ternyata, kemasyhuran pesat yang sangat menyibukan Nike, menyurutkan kunjungan saya ke rumahnya. Saya pun belum pernah hadir dalam pergelaran pentas musik Nike, maupun ke lokasi syuting filmnya. Diam-diam saya pun mulai menjaga jarak. Terlebih karena beberapakali tandang ke rumah sang bintang, Nike tak pernah dijumpai lagi.

Gadis lincah dan manja itu, terkabar sibuk di luar kota. Kalau bukan show, tentu syuting film dan sinetron “kejar tayang”! Namun saya tak mau termakan suara-suara sumbang, kalangan rekan yang pernah bersama dalam perjalanan karier Nike. Saya harus maklum, Nike sulit berbagi waktu. Selama itu, Denny Sabri seringkali datang membawa pesan Nike. Saya ditunggu d rumahnya. Masih juga saya abaikan! Di hari lain, nada Denny mendesak. “You kapan atuh ke rumah Nike..? Datang dooong…!” Pesan Nike Ardilla yang sering saya terima, ternyata bukan pesan fiktif versi Denny Sabri.

Pernah dibuktikan dengan sepucuk surat bertulis tangan Nike, berisi sebaris kalimat penantian berbahasa Sunda. Masih juga saya menunda-nunda keberangkatan ke Bandung. Saat-saat seperti itu, citra keartisan Nike kian mengawang. Beragam media cetak dan elektronik, diwarnai tampilan sosok sang bintang. Kondisi seperti iu tercipta, karena Nike diposisikan jadi primadona artis “Lady Rocker”, yang menebas kejayaan barisan penyanyi pop mendayu-dayu. Lagu hits-nya yang lahir kemudian “Biarlah Aku Mengalah”, “Nyalakan Api”, “Izinkan”, “Biarkan Cintamu Berlalu”, serta “Matahariku” kian menguatkan pemujaan para penggemar beratnya. ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *