SENI HIBURAN

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla : Kerinduan “Bintang” Mengumbar Canda

Yoyo Dasriyo dan (alm) Nike Ardilla di ruang tamu rumahnya. Kedamaian dalam foto ini, setelah adu tawar jarak duduk bersebelahan. (Foto: alm Bambang Hermawan).
Yoyo Dasriyo dan (alm) Nike Ardilla di ruang tamu rumahnya. Kedamaian dalam foto ini, setelah adu tawar jarak duduk bersebelahan.
(Foto: alm Bambang Hermawan).

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla Bagian ke 17

Oleh: Yoyo Dasriyo

Di puncak kekesalan, sebuah sedan warna gelap meluncur ke arah lintasan jalan kecil sebelah rumah makan itu. Sorot lampunya memecah keremangan malam. Tanpa terusik mengamati penumpangnya, saya berpaling. Menghindari kilau lampu sedan. Perlahan sedan itu melintas di depan saya. Tiba-tiba dari balik kaca gelap mobil itu, seseorang menampakkan wajah sambil melonjak dan berseru nyaring. “Om Yoyooo….!” Saya tersentak. Kenal betul! Itu suara sang “mega bintang” Nike Ardilla. Cepat saja saya memburu. Sedan itu pun berhenti.

Benar, Si “Eneng Geulis” Nike turun dari kendaraan itu. Namun siapa sangka, kalau gadis jenjang dengan penampilan tanpa gaun pesta itu, seorang “mega bintang” Indonesia? Nike tampil dengan pakaian keseharian. Apa adanya.Wajahnya dibiarkan alami. Tanpa polesan make-up. Rambutnya diikat seenaknya. Sungguh, penampilan bintang itu kalah gemerlap dibanding para tamu undangan. Nike seperti “orang biasa”! Mungkin juga, itu siasat Nike menghindarkan serbuan pengemar beratnya. Terbukti, semula kehadiran Nike tak banyak mengusik perhatian orang.

Sang “mega bintang” pun bebas terburu-buru menghampiri saya. Berlari kecil sambil berderai tawa nyaring. Tawa gadis yang sekian lama selalu terngiang. Seketika “Neng Geulis” meluapkan kerinduannya. Tangan saya digenggam sekuatnya. Tak perduli saya mengaduh, menahan sakit. Tangan saya lalu diayun-ayunkannya. Saya biarkan juga gadis itu mengoceh semaunya Sesaat kemudian, orang berhamburan. Semua berjejal menyaksikan tingkah keseharian bintang idolanya. Nike Ardilla tak segera menjumpai Yessy Gasela, yang berulangtahun.

Masih juga tak perduli kerumunan orang makin membanjir, justru Nike lebih atraktif. Tiada henti menghujankan pukulan gemasnya. Terus saja mencandai saya. Nike memancing saya, untuk meladeni guyonannya. “Ih,Om Yoyo sebel! Jahaaat… Sombooong….! Nggak pernah ke rumah Eneng lagi…”Itu dan itu saja tuduhannya. Lagi-lagi saya mengulang kalimat canda, tentang kedatangan ke rumahnya, setelah Nike berhenti mengalirkan uang. Kali ini reaksi Nike tak cuma ketus, namun secepat itu tangannya mendorong lengan saya.

Berulangkali badan saya terdorong. Saya menjaga jarak. Nike memburu dan mendorong. Bahkan sambil menghambur kata, lalu kedua tangannya diperankan. Setengah hati saya membalasnya. Nike tertawa… Bergantian, saya dan Nike dorong-mendorong. Gadis itu bersuka hati. Melonjak ceria, dan tertawa. Kerumunan orang pun tertawa. Mereka terhibur dengan kelucuan tingkah sang bintang. “Ah.., udah ‘Neng! Malu dilihat orang..!” omong saya, sambil mendorongnya. Tentu saja Nike tertawa. “Eh biariiin…!” balasnya.

Lagi-lagi Nike balik mendorong, hingga saya terdesak ke dinding tembok. Seseorang lalu datang, meminta Nike masuk ke ruangan aula. “Om Yoyo janji ‘ya! Nanti ajakin lagi Eneng main sinetron ya! Beneeer.., Awas kalau ‘nggak.. Pokona, teu rido Eneng mah…! Teu ridoooo….” Nike masih sempat mendorong sambil berlalu. Saya tertawa. Hampir tak percaya, seorang “mega bintang” sekelas Nike Ardilla, masih mau bernostalgia dengan kelucuan dan kenakalan ulahnya di depan orang banyak. Benar, kecemerlangan reputasi Nike tak memadamkan kedekatannya.

Malam itu, Yessy Gasella menyambar tangan saya, untuk mencicipi makan malam. Di antara antrean panjang, kamera saya mengintip Nike. Artis kondang itu tengah membawa sepiring nasi, yang siap disantapnya. Namun saat kamera dibidikkan, Nike melirik. Cepat buang muka, sambil tertawa. Tak pernah saya tahu, kalau itu peluang terakhir memotret Nike. Bahkan di foto itu, mata sang bintang berkedip, sambil mengulum senyum. Senyum penghabisan… Hanya satukali saya memotret Nike. Gadis itu hilang di antara hilir-mudik para tamu undangan.

Saya kehilangan jejak, hingga tak sempat pamitan. Saya pikir, besok lusa bisa datang ke rumah Nike. Leluasa membuat foto-foto baru, dan berbincang seputar kariernya. Berjarak waktu tak terlalu lama, suatu malam tiga gadis belia bertamu ke rumah saya. Seorang di antara mereka, berparas mirip Nike Ardilla. Sesaat saya terpana… “Saya dari Magelang, Mas! Sengaja datang ke Garut hanya mau nanya, apa Kang Denny Sabri ada di sini?” tanya gadis cantik itu lirih, diiring senyuman lembut. Saya bergeleng. *** (Bersambung)

1 Comment

  • Irma Juni 4, 2016

    Sambungannya teh mana mang ?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *