SENI HIBURAN

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla : Tahun Kedukaan Artis Indonesia

20 HARI KEDUA

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla Bagian ke 20

Oleh: Yoyo Dasriyo

Kabar yang dinanti, tak juga kunjung datang. Namun masih membasah dalam ingatan. Sore itu Yayan Heryani – keponakan saya baru pulang dari rumah mertuanya di Limbangan, Garut. Dengan penuh tanya, Yayan kaget melihat mobil ambulance pengantar jenazah berhiaskan foto Nike Ardilla. Iring-iringan kendaraan lainnya memanjang, melintasi kawasan Limbangan sebagai penghubung ke Ciamis. Kabar itu yang memastikan kepergian abadi sang “mega bintang”. “Innalillahi wainailaihi roji’un…!” Saya menjatuhkan muka. Berita duka Nike Ardilla lalu tersiar di TVRI Bandung, dengan suasana pemakamannya.

Batin saya terpukul. Bagaimana mungkin memburu Ciamis? Lokasi makamnya pun belum tahu. Tak tahu juga, siapa yang bisa saya hubungi di sana? Dalam diam, saya teringat canda yang meluncur berulangkali. Canda untuk ajakan Nike, yang meminta saya mau datang lagi ke rumahnya. “Neng…, Oom Yoyo akan datang ke rumah Eneng, kalau Eneng berhenti …. mengalirkan uang..!” Entah berapakali saya mencandai Nike seperti itu. Saya tidak tahu. Mungkinkan canda itu firasat jelang perpisahan panjang? Kenyataan nestapa pun tergelar, sang “mega bintang” itu berpulang dalam usia jelang 20 tahun.

Sehari kemudian, saya memburu Ciamis bersama beberapa rekan dari Garut. Kami melacak kawasan Imbanagara. Sejumlah orang masih saja mengalir, ke lokasi pusara bintang itu. Tiba-tiba, kerumunan orang menjemput kehadiran saya. Rupanya, mereka kenal sosok saya dalam sinetron “Impian Pengantin 2” yang tengah ditayangkan di RCTI. Di mata mereka, saya dikenal sebagai pemain sinetron, bukan pelaku profesi wartawan. Saat itu, justru saya mendadak jadi pusat perhatian orang. Di areal makam keluarga besar (alm) R Gandjar Kartabrata, seonggok gundukan tanah merah bertabur bunga yang masih segar, tergelar di depan pandang.

Saya terpaku menatap “rumah terakhir” sang bintang”. Teramat berat meyakini kenyataan. Nama seindah R Nike Ratnadilla tertulis di papan pusara. Tangis saya pun mengering di kerongkongan. Sunyi memasung suasana alam sekitarnya. Tak kuasa saya membayangkan, jasad belia rupawan itu terbaring bisu di balik tanah merah. Sehabis mengurai doa untuk almarhumah Nike, saya bergumam: “Neng.., maafkan Om Yoyo! Hari ini Om Yoyo datang ke rumah Eneng! Janji sudah Om tepati.. Ternyata benar, Eneng kini berhenti mengalirkan uang..” Saya datang lagi di hari ketujuh, bersama rekan-rekan lainnya dari Garut.

Besar harapan saya, bisa bertemu orangtua atau saudara almarhumah. Namun tak pernah saya jumpai. Bukan tidak kenal etika. Bukan pula tak tahu diri. Begitu ingin datang ke rumah duka di Bandung. Saya harus menyampaikan ucapan duka cita. Namun, (alm) Denny Sabri membawa pesan dari Ibu Nike. Hanya untuk sementara saya diminta jangan dulu menjumpai ibu Nike. “Mami Nike belum siap ketemu ‘Kang Yoyo! Nanti saja, setelah hari keempat puluh…” katanya. Boleh jadi, kehadiran saya bisa mengusik lara hati ibu artis kondang itu.

Memang, Ny Ningsihrat Kusnadi saksi kedekatan saya dengan anak gadisnya. Pertengahan bulan kedua sepeninggal Nike, malam itu saya menelepon ibu Nike dari kantor perwakilan HU “Suara Karya” Jawa Barat di Jl Buah Batu, Bandung. Saya bermohon maaf karena belum pernah berkunjung ke rumah duka. “Kang Yoyo datang saja sekarang ke rumah..” Suara ibu Nike terdengar tegar, meski suaranya direndahkan. “Sekarang..? Sudah malam atuh, ‘Mih! Lagi pula, di kantor nggak ada kendaraan..” Saya bingung. “Gampang…! Nanti dijemput sama sopir Neng Nike..” katanya lagi. Saya tak tega menolak.

Hanya sesaat menunggu, sopir yang ditugaskan ibu Nike datang menjemput. Suasana sunyi mendekap alam Parakan Saat, Bandung. Serasa ada sesuatu yang hilang di rumah bintang itu. Ibu Nike tak banyak bertutur kata.”Kang Yoyo maafkan Neng Nike nya…!” sambut Mami Nike dengan tangis berurai. Saya tak mampu berkata. Hanya bisa manggut. Kedukaan amat menyesak dada. “Sekarang mah tidak akan ada lagi yang suka menyembunyikan sepatu Kang Yoyo ‘ya…!” kenang ibu Nike sendu, lalu masuk ke ruangan kamar. Saya berdua (alm) RE Kusnadi tertegun.

Kedukaan masih menyekap ruangan rumah artis kondang itu. Ternyata, tahun 1995 layak dicatat sebagai “Tahun Kedukaan Artis Indonesia”. Sepanjang tahun itu, sebelas artis film, sinetron, penyanyi dan sutradara film kenamaan, berpulang ke alam keabadian. Bermula dari aktor film “Si Pitung” Dicky Zulkarnaen (10 Maret), berlanjut ke Nike Ardilla, Tarida Gloria, Hans Panbers, Louis Nicky Zullu, Arifien C Noer, Djadjat Paramour, Andy Liani, Abiem Ngesti, Poppy Mercury, dan berpuncak mengejutkan dengan kepergian H Benyamin S. Namun pamor almarhumah Nike Ardilla, tak ikut terkubur ***
(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *