SENI HIBURAN

Menapak Jejak Rhoma Irama: Terobosan Mendongkrak Martabat Dangdut

Pasangan duet dangdut harmonis Oma Irama dan Elvy Sukaesih, menandai sukses kebangkitan Oma bersama “Soneta Grup”-nya. Kehadiran Rita Sugiarto sebagai pengganti Elvy, makin menguatkan supremasi duet baru di kancah dangdut negeri ini. (Dokumentasi)
Pasangan duet dangdut harmonis Oma Irama dan Elvy Sukaesih, menandai sukses kebangkitan Oma bersama “Soneta Grup”-nya. Kehadiran Rita Sugiarto sebagai pengganti Elvy, makin menguatkan supremasi duet baru di kancah dangdut negeri ini.
(Dokumentasi)

Menapak Jejak Rhoma Irama: Bagian (2)

Oleh Yoyo Dasriyo

Duet lainnya bersama (alm) Veronica mantan pemain organ “The Beach Girls”, yang kemudian jadi isterinya. Terbukti dominasi pasar duet Muchsin dan Titiek Sandhora, terlalu tangguh. Peringkat mereka tidak tergoyahkan kehadiran Oma Irama & Inneke Kusumawaty, Oma Irama & Lily Junaedi, Oma Irama & Elly Khadam maupun (alm) Onny Suryono & Tutty Subardjo, (alm) Dicky Suprapto & (alm) Suzanna, (alm) Alfian & Tetty Kadi serta banyak lagi pasangan duet lainnya. Empat album pop Oma Irama dengan Jopie Item dan Zaenal Combo, juga berlalu begitu saja. Salah satu lagunya yang sering mengudara di RRI Palembang berjudul, “Pantai Bestgy”.

Memang reputasi Oma Irama belum diperhitungkan. Padahal, Oma berpotensi sebagai penyanyi pop dengan keapikan suaranya. Kemenangan Oma di “Festival Pop Singers” Asia Tenggara 1972 di Singapore, menggantikan (alm) Deddy Damhudi, merupakan pembenaran. Oma merebut juara pertama, saat berlagu “I Who Have Nothing” nyanyian Tom Jones dan “Jangan Ditanya” tembang lawas karya (alm) Ismail Marzuki. Pada saat bersamaan, Wiwiek Abidin memenangi juara pertama untuk penyanyi wanitanya. Tetapi berjaya di festival, belum membuka kunci sukses perjalanan karier Oma Irama.

Tahun 1973 pun waktu saya mendampingi proses rekaman grup band “The Yuda’s” di studio “Remaco” Jakarta, nama Oma Irama belum hangat dalam percaturan bursa artis penyanyi pop di pabrk piringan hitam terbesar se-Asia Tenggara itu. Deddy Damhudi, Muchsin, Bob Tutupoly dan (alm) Broery Marantika, lebih banyak dibicarakan. Di lain sisi, media cetak dihangatkan dengan polemik rebutan hak cipta lagu “Tiada Lagi”, yang melejitkan (alm) Charles Hutagalung dari grup band “The Mercy’s” Medan. Penggugat hak cipta lagunya muncul dari Arany vokalis “The Yuda’s”, grup band asal Riau yang pernah bermukim di Kota Garut.

Saya diposisikan sebagai mediator “The Yuda’s” pimpinan Kartisna Yudakusumah, Kepala BRI Cabang Garut. Pihak “The Mercy’s” diwakili rekan Benny Soewandito, yang lebih dikenal dengan nama Bens Leo. Saya ingat tahun 1974, lagu dangdut “Terajana” yang mewarnai film “Melawan Badai” karya (alm) Sofia WD, tidak menjembatani Oma Irama dalam film. Dendang ceria itu, dinyanyikan Jaja Miharja, dengan aksi jenaka dan berkepala gundul. Lagu itu pula ditampilkan Urip Arpan di film “Laila Majenun” karya (alm) Drs Syumanjaya.

Bisa dimaknai, sosok dan reputasi Oma Irama belum mengusik nilai jual dalam bisnis dunia film nasional. Romantika perjalanan kariernya, belum seirama dengan irama ambisi Oma Irama, yang masih harus menaklukkan keragaman irama tantangannya. Ternyata pop tidak berjodoh dengan perburuan karier Oma Irama. Lelaki kelahiran Tasikmalaya, 12 Desember 1946 ini lalu terpacu untuk memutar baling-baling kariernya ke kancah musik dangdut. Tak tahu kenapa, di mass media kini penanggalan kelahiran itu tertulis jadi 11 Desember 1946. Saya merasa tidak salah mencatat.

Apa mungkin Oma keliru menyebutnya? Biarlah, bagi saya itu peristiwa lain sebelum berbeda penanggalan kelahiran (alm) Nike Ardilla. Semasa kebersamaan panjang saya dengan sang “mega bintang” itu sejak tahun 1987, penanggalan kelahirannya tercatat, 28 Desember 1975. Sepeninggal Nike, justru 27 Desenber 1975 orang mengenal sebagai kelahiran Nike Ardilla. Bahkan plat nomer sedan Honda Genio pengantar maut sang bintang pun betulis D-27-AK. Unik, dalam catatan saya penanggalan kelahiran kedua “super star” itu selalu lebih satu hari. Tak pernah tahu siapa yang keliru?

Sangat di luar perhitungan, suatu hari Nike Ardilla jadi “mega bintang” fenomenal. Saya pun tak pernah berhitung, bakal lahir penyanyi atau pemusik dangdut bergelar Raja Dangdut bersosok Rhoma Irama. Kalaupun pernah mencuat sebutan Ratu Dangdut untuk Ellya Khadam, tetapi masih kurang permanen. Keunikan lain pun berulang. Terbukti tahun 1975 bukan hanya momentum kelahiran (alm) Nike Ardilla. Tahun itu pula jadi historis penting bagi kelahiran paradigma baru dunia musik dangdut Indonesia, yang ditandai dari sukses fantastis lagu “Begadang”.

Sertamerta sukses itu melahirkan kejutan reputasi Oma Irama dan “Soneta Grup”, yang dibentuknya 13 Oktober 1973. Formasi yang sudah dibenahinya terdiri dari Oma Irama (lead vocal/guitar), Wempy (rhythm), Nasir (Mandolin), Riswan (keyboard), Hadi (suling), Yopi (Tamborin), Pongky (bass guiar) dan Chovif (gendang). Seketika, Oma Irama menuai julukan sebagai tokoh pembaharu musik dangdut, yang menggebrak pentas musik Indonesia dengan formula, meramu aroma musik rock dan dangdut. Oma dan “Soneta” mampu menawarkan warna lain, dengan dangdut dinamis yang energik.
(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *