SENI HIBURAN

Menapak Jejak Rhoma Irama : Tak Ada Raja Dangdut di Gedung “Merdeka”

Di antara pengamanan ketat, Elvy Sukaesih selepas dari Oma Irama, dijumpai Yoyo Dasriyo di atas pentas dangdut terbuka di Stadion “Jayaraga” Garut” (1979). (Foto: Teddy Tuarez).
Di antara pengamanan ketat, Elvy Sukaesih selepas dari Oma Irama, dijumpai Yoyo Dasriyo di atas pentas dangdut terbuka di Stadion “Jayaraga” Garut” (1979).
(Foto: Teddy Tuarez).

Menapak Jejak Rhoma Irama : Bagian (7)

Oleh: Yoyo Dasriyo

SILANG pendapat kedua kubu musik, tak berkepanjangan. Pemusik dangdut dan insan musik lainnya sepakat, untuk saling menjunjung tinggi martabat musik Indonesia. Tetapi polemik itu terlanjur menginspirasi Rhoma Irama, menggulirkan lagu bertajuk “Musik” yang memuat ekspresi gejolak emosi perlawanannya. Lagu ini mendadak “hit”, dan menggema di setiap aksi pentas musik “Soneta” “Aku mau bicara soal musik/Tentu saja bagi penggemar musik…” Awal syair lagu itu lalu bersambut bahana musik dangdut rock “Soneta”, ditingkah suara lantang Rhoma berdendang.

Perlawanan keras Rhoma Irama tersirat dalam bangunan syair lagunya: “Biarkan kami mendendangkan lagu/Lagu kami, lagu Melayu/Bagi pemusik yang anti Melayu, boleh benci jangan mengganggu…” Syair lagu “Musik” makin menajam. “Siapa suka boleh dengarkan/Yang tak suka boleh berlalu/Siapa suka boleh dengarkan/ Yang tak suka…, minggiiir!” seru Rhoma gemas. Perseteruan itu mengusik kepedulian Majalah “Aktuil”, untuk mempertemukan Rhoma Irama dan Benny Soebardja dalam “Diskusi Musik Hard Rock & Dangdut”.

Kegiatan berharga kehormatan itu, terkait peringatan ulangtahun kesembilan Majalah “Aktuil”, yang digelar di Gedung “Merdeka” Bandung, medio Juni 1976. Besar harapan, saya bisa bertemu lagi Rhoma Irama di gedung bernilai sejarah itu. Tanpa diduga, saya duduk bersebelahan dengan (alm) Charles Hutagalung, vokalis “The Mercy’s”, yang pernah menghangatkan kasus rebutan hak cipta lagu “Tiada Lagi”. Sayangnya, Rhoma Irama tak hadir dalam diskusi, yang bermaksud menjernihkan perseteruan itu. “Itu salah saya. Saya terlalu emosi waktu itu. Tapi sudah lama saya minta maaf sama Oma. Jadi sudah tidak ada lagi persoalan apa-apa…” Benny Soebardja tersenyum.

Siang itu, (alm) Denny Sabri manager grup band “Superkid”, yang mendampingi Benny Soebardja meyakinkan, antara pemusik hard-rock dan dangdut tidak “bermusuhan”. Itu dibuktikan dengan aksi Benny di pentas musik “Giant Step” di Palembang,yang sengaja mengadopsi intro musik dangdut “Soneta” dari lagu “Begadang” ke dalam atraksi “Giant Step”. Dikabarkan, atraksi “perdamaian” musik itu disambut penontonnya. Pembicara lainnya dalam diskusi itu, tercatat Remy Silado, Bens-Leo, Wandy (grup “Odalf”), serta Dr Sudjoko (dosen seni rupa ITB).

Wandy tampil mewakili pemusik dangdut, sambil membacakan tanggapan Rhoma Irama. “Saya bercita-cita membuat ‘Soneta’ seimbang dengan grup-grup musik hard rock yang ada. Saya akan gunakan lighting dengan power 20.000 watt, dan sound system 2.000 watt..” ungkap Rhoma Irama dalam tanggapan tertulisnya. Rhoma yakin, memadukan musik hard rock dan dangdut dapat dilakukan, sepanjang berpijak pada keseimbangan harmoninasinya. “Ini diharapkan agar dangdut jangan berkiblat ke India saja, sebab akan membunuh kreasi musikus irama Melayu..” tegasnya.

Rhoma menilai, penonton musik hard rock di Indonesia masih awam, hingga hard rcok belum bisa menyentuh hati penggemar musik secara umum. Diharapkannya, kemajuan musik dangdut, bisa berdampingan di pentas musik hard rock. Harapan itu terpenuhi dengan pergelaran musik sensasional di Jakarta, saat grup “God Bless” dipertemukan satu panggung dengan “Soneta Grup”. Kenyataan itu pembenaran dan pengakuan atas derajat musk dangdut “Soneta”, yang tidak lagi dilirik sebelah mata. Bahkan, Majalah “Aktuil” Bandung yang tengah berjaya, sepakat menobatkan Rhoma Irama sebagai “Super Star” pertama di Indonesia.

Saya menganggap, bukti kedamaian pemusik dangdut dan rock itu dilukiskan dengan tampilan Achmad Albar – God Bless mendendang lagu “Zakia” (1979). Enam tahun kemudian, Benny Soebarja bersama “Giant Step”-nya, meluncurkan lagu “Geregetan” yang beraroma dangdut rock ringan (1985). Namun lagu karya Triawan Munaf – personal “Giant Step” itu, justru melejitkan anak gadisnya, Sherina (2010). Sukses Sherina menginspirasi rekan Buyunk Aktuil di Jakarta, untuk membingkai tulisan unik tentang anak-anak pemusik bising hari kemarin, yang merebut pasar musik kekinian.

Di luar Sherina, tercatat juga Ikmal Tobing –anak sang “drummer maut” Jelly Tobing, yang mencuat jadi “top drummer” muda! Saya diminta Buyunk Aktuil ke Jakarta, medio Mei 2014, untuk menemui mereka. Di rumahnya, Jelly Tobing menyambut hangat, seolah memutus perpisahan panjang, sejak pasukan Majalah Aktuil” bubar. Namun siang itu, tak bisa menjumpai Ikmal Tobing, karena mendadak dipanggil Achmad Dani. Triawan Munaf pun berhalangan mempertemukan kami dengan Sherina. Sore hari itu, berdua rekan Buyunk, meluncur ke Wisma Nusantara, menembus hujan lebat dalam remang senja di bumi Jakarta.***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *