SENI HIBURAN

Menapak Jejak Rhoma Irama : Petaka di Ujung Pentas “Soneta” …

Melepas lelah di balik pentas Gedung “Sumbersar” Garut. Yoyo Dasriyo, dan Elvy Sukaesih yang asyik membaca majalah, menunggu panggilan berdendang. Gema musik “Soneta Grup” terdengar energik memadati ruangan (1975).
Melepas lelah di balik pentas Gedung “Sumbersari” Garut. Yoyo Dasriyo, dan Elvy Sukaesih yang asyik membaca majalah, menunggu panggilan berdendang. Gema musik “Soneta Grup” terdengar energik memadati ruangan (1975).

Menapak Jejak Rhoma Irama : Bagian (9)

Oleh: Yoyo Dasriyo

WAKTU masih tersisa. Rhoma Irama lalu memperkenalkan saya dengan Rita Sugiarto dan Tati Hartati, penyanyi pendampingnya. Mengapa Rhoma menggaet Rita, di saat duetnya dengan Elvy Sukaesih memagut pasar dangdut?. Rhoma Irama tersenyum menjemput pertanyaan saya. “Saya ingin buktikan kepada masyarakat, bahwa tanpa seorang Elvy Sukaesih pun, ‘Soneta’ bisa jalan terus..” katanya optimis. Terbukti, meski kehadiran Rhoma di Kota Garut untuk ketigakalinya, namun kecintaan masyarakat penggemar Soneta” masih belum surut.

Gelombang lautan manusia tumpah menjejali Stadion “Jayaraga”. Show “Soneta” pun sukses luar biasa! Dibuka dengan lagu “Musik” dan “Nyanyian Setan”, magnetis aksi Rhoma Irama membuat banyak penontonnya histeris. Terlebih setelah dendang lagu “Penasaran”, “Darah Muda”, “Lapar” dan “135.000.000””. Tampil kemudian Taty Hartati berlagu “Malam Minggu”, “Lonceng” dan “Berahi”. Massa seakan terhipnotis, ketika Rita Sugiarto mendendang lagu “Biduan”, “Hitam” dan “Datang Untuk Pergi” yang pernah menjayakan Elvy Sukaesih.

Jelang pentas musik selesai, saya bergegas mendahului hamburan massa dari arena. Cemas melihat gejolak penonton, yang memungkinkan kurang nyaman. Namun setiba di rumah yang hanya direntang jarak sekitar 1 km dari “Jayaraga, kejutan kabar terumbar. Saya tersentak. Bahkan seketika kalangkabut. Ternyata, pergelaran musik dangdut yang fantastis malam itu, berujung malapetaka. Tragis. Lautan manusia bagai berombak. Mereka berlomba berdesakkan memburu pintu ke luar, yang berpagar drum. Gejolak arus penonton tak terkendali. Dua orang bocah tewas terinjak-injak.

Puluhan orang lainnya terkapar pingsan, serta dua korban menderita luka. Saya buru-buru balik lagi ke lokasi. Harus secepatnya melacak akurasi data tentang korban. Di luar stadion bekas pentas “Malam 135.000.000”, hanya menyisakan cerita lara. Malam itu raungan sirene dari sejumlah mobil ambulance terdengar memecah haru, diterpa tiupan peluit petugas keamanan. Ketegangan dan kecemasan masih memanggang. Saya tidak memburu ke RS “dr Slamet” Garut, karena kebutuhan foto berita rekaman suasana sudah terlanjur berlalu Pikir saya, besok pagi bisa minta bantuan rekan (alm) Yusup Supardi wartawan Harian Umum “Mandala”

Rumah rekan \wartawan itu kebetulan di seberang lokasi RSU. Namun saya pun segera ke rumah (alm) Kamaludin Syamsul, wartawan HU “Pikiran Rakyat, untuk mendapatkan foto pendukung berita yang memotret suasana itu. Saat itu tak mudah mendapat foto berdaya rekaman peristiwa aktual, karena jumlah wartawan belum mencapai ratusan orang. Di PWI Kordinatorat Garut (kini PWI Perwakilan Garut), baru tercatat 22 orang. Itu pun sudah dianggap banyak, dan jadi gunjingan. Belum ada organisasi lain di luar PWI. Bahkan, wartawan peliput pentas musik, masih bisa dihitung dengan jari.

Kondisi seperti itu menciptakan martabat wartawan terpandang, karena masih sulitnya mendapat pengakuan profesi kewartawanan. Saya menerima beberapa foto hitam putih dari Syamsul Kamaludin, Tak perduli, meski foto-foto sisa dari yang sudah dikirimkan ke kantor redaksinya. Masih beruntung, saya belum dibebani tugas memburu dead-line berita di suratkabar harian, karena saya masih memfokuskan tulisan entertainment di HU “Suara Karya” dan “Berita Yudha” edisi minggu, di balik tugas sebagai wartawan majalan bulanan “Aktuil” Bandung.

Ada tenggang waktu untuk mengembangkan materi pemberitaan, termasuk tanggapan panitia dan Rhoma Irama, atas malapetaka selepas pentas musiknya. Pihak panitia dan Rhoma menyatakan penyesalan dan kedukaan mendalam. Untuk kedua pihak keluarga korban tewas, diserahkan santunan duka senilai Rp 60.000,- (Enampuluh Ribu Rupiah). Santunan ini terdiri dari panitia Rp 20.000,- (Dua Puluh Ribu Rupiah), dan pihak Rhoma Irama senilai Rp 40.000,- (Empat Puluh Ribu Rupiah). Jumlah sebesar itu termasuk tinggi. Tingkat honor tulisan di media cetak pun. dihargai Rp 750,- (Tujuh Ratus Lima Puluh Rupiah) untuk sebuah artikel di “Suara Karya” Jakarta.

Di depan Hotel “Kota” Garut, siang itu kerumunanan wajah duka tim “Soneta Grup” masih membekas. Mereka bersiap meluncur lagi ke Sumedang. Di tengah kesibukan jelang keberangkatan konvoi kendaraan itu, Benny Mucharam, kakak Rhoma Irama, sebagai pimpinan rombongan mengajak saya meliput show ke Sumedang. “Iya ikut aja…” kata Rhoma di samping sedan VW mungilnya. Seketika terpikir, itu kehormatan langka! Naluri kewartawanan pun terpanggil untuk membaca sambutan warga Sumedang, atas kehadiran “Soneta”. Kebersamaan itu pun menjanjikan peluang untuk kenal lebih dekat dengan tim “Soneta”, dan Rita Sugiarto, yang berpotensi jadi primadona baru dangdut.

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *