SENI HIBURAN

Menapak Jejak Rhoma Irama : Bantal Guling Jadi Daerah Perbatasan

Kenangan kecil aksi Debby Veramasari, menjejeri Tati Hartati, W Gunawan dan Yoyo Dasriyo. Menunggu hujan reda di kota Kecamatan Ciawi, Tasikmalaya 1977. (Dokumentasi: Yodaz)
Kenangan kecil aksi Debby Veramasari, menjejeri Tati Hartati, W Gunawan dan Yoyo Dasriyo. Menunggu hujan reda di kota Kecamatan Ciawi, Tasikmalaya 1977.
(Dokumentasi: Yodaz)

Menapak Jejak Rhoma Irama : Bagian (14)

Oleh: Yoyo Dasriyo

MASSA bubar berhamburan bermandikan siraman hujan. Alun-alun Ciawi, Tasikmalaya kembali sunyi. Tiada suara berisik, seperti juga suasana aksi tutup mulut di kamar Rita Sugiarto dan Tati Hartati. Mereka berbaring bersama di atas kasur, dengan sebuah bantal guling sebagai pemisah. Ada apa di antara mereka? “Waktu tidur sekasur pun, kamu ‘nggak pernah ngobrol sama Rita…?” Saya menghampiri Tati, yang berkemas lagi memburu Jakarta. Tati hanya tersenyum kecil. Tanpa kata

Jelang konvoi kendaraan “Soneta” melaju, Rhoma Irama buru-buru minta bantuan abangnya. “Jaga, Ben…! Jangan sampai mereka berantem” pintanya sambil berlalu menuju sedan VW-nya. Benny manggut. Kecemasan Rhoma membenarkan “perang dingin” kedua penyanyi “Soneta” itu. Apa yang terjadi? Rita tertegun, ketika membuka pintu colt untuk menempati jok seperti semula. Rupanya, Tati tengah “beraksi” di dalam colt itu. Tidur-tiduran sendirian hingga menutup tempat duduk orang lain.

Alasannya, sakit perut. Benny cepat datang dan menegurnya. Tanpa kata, Rita pun kembali duduk berdampingan. “Ada apa sih kalian ini…?’ tanya Benny kepada mereka. Rita membisu, dan menjatuhkan wajahnya. Colt terus meluncur lewat tengah malam meninggalkan Ciawi. Tati memecah kebisuan. “Nggak ada apa-apa…!” katanya. “Tapi kenapa Oma bilang, jangan sampai berantem..?” Benny mendesak. Tati tertawa nyaring. “Apaan berantem segala…? Emangnya Mohammad Ali..” balasnya datar.

Rita Sugiarto masih diam. Asyik saja menulis kesan di notes saya. Konvoi kendaraan tim “Soneta” menyusuri kebisuan malam ke arah Bandung. Kelelahan meruntuhkan kebugaran. Saya tak ingat lagi, turun di mana malam itu! Direntang beberapa bulan, terkabar Rhoma Irama” dan “Soneta Grup” siap tampil di Alun-alun Limbangan, Garut. Saya ingat foto-foto yang pernah dipesan Rhoma waktu di Sumedang. Segera saya cetak 1 dus foto pesanan Raja Dangdut, untuk diserahkan ke Rhoma di Limbangan, Garut Utara.

Dengan kebaikan rekan wartawan senior Garut, (alm) Yuyun Edi Karyana, saya boncengan naik Vespa melintasi jalan Leuwigoong sejauh 42 km. Saya memang tidak punya, dan tidak bisa mengendarai semua jenis kendaraan. Rekan wartawan di Garut, yang jauh lebih senior itu, mengaku awam dengan kancah selebriitis. Bisa dipahami, kalau sepanjang perjalanan bertanya seputar dunia hiburan yang saya geluti. Termasuk tentang imbalan jasa, yang banyak dianggap gampang didapat.

Terus terang, saya tak memahami urusan itu. “Seya tidak pernah meminta. Selama ini hanya memburu mereka untuk kebutuhan profesi…” balas saya. Almarhum tertawa, karena dunia saya dinilai tidak sebasah liputan pemberitaan pemerintahan. Saya bilang, untuk memenuhi pesanan foto Rhoma, dibayar dulu dari duit pribadi. Limbangan Garut memang bukan daerah asing. Masa kecil saya pun banyak diwarnai dengan kehidupan di perkampungan itu, karena Limbangan kampung halaman almahumah ibu saya.

Rekan yang membonceng saya, justru isterinya berasal dari Limbangan. Sebab itu, mudah melacak lokasi sekretariat panitia pergelaran musik “Soneta”, yang ternyata dekat dari Alun-alun Limbangan. Saya langsung mlnta izin panitia, untuk jumpa Rhoma Irama yang sudah berada di rumah itu. Rhoma menyambut ramah dan akrab. Seketika pula, banyak penggemar Rhoma berdesakan di batas ruangan rumah itu. “Kang Haji, saya bawa foto pesanan waktu di Sumedang..” kata saya. Rhoma melonjak ceria. ‘Oh ya.., dibawa sekarang? Mana…!” ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *