SENI HIBURAN

Menapak Jejak Rhoma Irama : Gegap Gempita Di Kampung Halaman

Aksi Rhoma Irama saat tampil perdana di Tasikmalaya (1975), waktu masih populer dengan nama Oma Irama. Penonton “Soneta” di Aula Sospol masih belum menyemut. (Foyo: Yodaz)
Aksi Rhoma Irama saat tampil perdana di Tasikmalaya (1975), waktu masih populer dengan nama Oma Irama. Penonton “Soneta” di Aula Sospol masih belum menyemut.
(Foto: Yodaz)

MenapakJejak Rhoma Irama: Bagian (16)

Oleh: Yoyo Dasriyo

TRIK kamera, jadi prinsip berharga hati. “Saya selalu minta dibikin trik kamera! Masih ada jarak beberapa senti lagi, yang memisahkan bibir saya dan Yatie…” tandas Rhoma Irama. Kekuatan prinsipnya diberlakukan juga dalam menangani karier gadis kecil Debby Veramasari “Saya tidak akan melepas Debby untuk jadi artis penyanyi, sebelum dia punya iman yang kuat! Kalaupun jadi artis nyanyi, dia akan nyanyi sendiri. ‘Nggak harus bergaya Yoan dan Tanty, yang sahut-sahutan..” Rhoma menegaskan lagi prinsipnya.

Tetapi banyak prinsipnya terpaksa harus dipatahkan kehendak lain dari pihak produser.
Film-film Rhoma mengalir, dengan mendagangkan penjudulan nama Rhoma Irama. Sederet lagu rekaman pop Debby Veramasari pun, diwarnai lagu sahut-sahutan dengan Rhoma Irama, seperti “Idih Papa Genit”, “Indandip”, maupun “Cok Galigacok”. Saya lalu terpanggil kembali memburu Rhoma Irama, untuk mengupas semua prinpsipnya yang harus berpaling dari kenyataan. Peluang yang menjanjikan perjumpaan-ulang, tergelar medio Januari 1979, di Tasikmalaya.

Waktu itu terkabar Rhoma Irama dan “Soneta Grup” siap menggelar show “Soneta” di sana. Pikir saya, itu momentum penting! Saya harus bisa menyaksikan aksi Rhoma di kota kelahirannya, setelah eksistensinya mendapat banyak pengakuan, dan dipujikan. Kebetulan saya kenal dekat dengan (alm) Ade Kostaman, rekan wartawan dari Harian “PIkiran Rakyat” di Tasikmalaya. Sambil menenteng kamera Qanonet QL-17, seorang diri meluncur naik bis dari Garut ke Tasikmalaya.

Sudah janjian dengan rekan wartawan di kota itu, untuk meliput pentas musik “Soneta”. Cuaca cerah. Langit membiru. Bersih tanpa sapuan awan. Di pusat perkotaan Tasik, terhampar pemandangan lautan manusia, mengitari kawasan lokasi Alun-alun. Wajah panggung musik “Soneta Grup, terbangun kokoh di depan areal halaman Masjid Agung Tasikmalaya. Gambaran suasana yang sangat jauh berbeda, dibanding waktu Rhoma tampil di Aula Sospol, Jl Pangaduan Kuda, Tasikmalaya.

Selepas Maghrib. kami bertolak dari rumah rekan Ade Kostaman. Berdua nak becak ke Alun-alun. Langkah cepat diayun menyeruakkan lautan manusia yang kian menyesak.
Saya minta Ade, menembus penjagaan ketat lebih cepat, sebelum rombongan Rhoma Irama tiba. Memang panggung musik itu dgelar di depan Masjid Agung, karena show itu ditangani pihak LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an) Kab Tasikmalaya.

Show digelar dalam upaya pengumpulan dana amal, untuk kontingen MTQ (Musbaqah Tilawatil Qur’an) ke tingkat Jawa Barat.

“Kita harus naik panggung lebih dulu! Cari aman aja…” pinta saya ke Ade. Rekan wartawan ini, segera menghubungi panitia dan penjaga keamanan Harap-harap cemas terlukis dalam sikap rekan Ade Kostaman.

“Apa bisa wawancara Rhoma sebelum acara digelar?” tanyanya membisik. Saya bergeleng kepala. Di pentas musik terbuka seperti itu, lebih berpeluang memotret. Untuk wawancara, harus mencegat langkah Rhoma. Harus janjian wawancara selepas pergelaran musiknya.

Di atas panggung, sekitar 20.000 lebih massa penggemar dangdut menyemut. Panitia mengerahkan 390 aparat keamanan dari berbagai kesatuan. Pengidolaan atas Rhoma Irama memang makin menguat. Riuh-rendah tempik sorak penonton memecah, ketika Raja Dangdut dan rombongan memasuki areal pentas. Saya buru-buru menyambut dan menyalami Rhoma, sambil berucap salam, manakala sang Raja Dangdut naik ke atas panggung. “Wilujeng wengi, ‘Kang Haji? Masih ingat saya?” Rhoma Irama memandangi saya. Lalu melonjak dan tertawa. “Oh iya…! Maaf saya kurang fasih bahasa Sunda..”

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *