SENI HIBURAN

Menapak Jejak Rhoma Irama : Bayang-Bayang Yang Menghilang…

Perjumpaan lain Yoyo Dasriyo dan Elvy Sukaesih, di Hotel “Tirtagangga” Cipanas Garut (1997). Peantian panjang di Jakarta, tak mengeringkan komunikasi. (Foto: Dede Ansor Toha)
Perjumpaan lain Yoyo Dasriyo dan Elvy Sukaesih, di Hotel “Tirtagangga” Cipanas Garut (1997). Peantian panjang di Jakarta, tak mengeringkan komunikasi.
(Foto: Dede Ansor Toha)

Menapak Jejak Rhoma Irama : Bagian (24)

Oleh: Yoyo Dasriyo

SUNGGUH mengering sudah gairah jumpa Elvy Sukaesih. Seorang diri saya duduk di ruangan tamu. Sunyi. Tak ada suara. Masih juga sempat termangu. Lurus dari arah pandang saya, sebuah pintu kamar tertutup rapat. Dari balik pintu ini, Elvy Sukaesih kemudian menampakkan dirinya. Manggut dan tersenyum. Di dalam diri saya masih berperang menumpas penantian, yang amat mengesalkan waktu di teras. “Mbak Elvy, tadi saya nunggu di luar hampir dua jam…” Saya memecahkan kesal.

Tak ada kata maaf tergetar dari bibirnya. Ekspresi kekagetan “Ratu Dangdut” pun luput. Elvy hanya senyum kecil sambil berucap datar. “Oh ya…!” katanya dingin. Saya terdiam. Menarik napas. Memaksa menghalau bayangan kesal, yang pernah menyiksa. Tak pernah tahu, kunjungan ke rumah artis hari itu, membingkai peristiwa baru. Boleh jadi, saya tersinggung. Tentu, karena belum pernah mendapat perlakuan seperti itu dari sejumlah artis musik dan film terdahulu.

Rumah Elvy Sukaesih bersaksi, tentang peristiwa tak sedap seorang “putera daerah”, yang merasuk ke dalam relung ingatan. Berulangkali saya mencoba membaca latar sikap itu, agar bisa memahami problem orang lain. Namun Elvy bergeleng kepala. Tidak ada alasan kesibukan apapun. Tamu-tamu sudah berpamitan. “Saya kira lagi istirahat …” pancing saya. “Ah…nggak! Saya ada di kamar…“ Elvy kembali tersenyum. Penyanyi dangdut kampiun kelahiran Cirebon, bernama asli Elsye Sukaesih ini, pandai mencairkan kebekuan suasana. Tutur ceritanya mengalir akrab.

Elvy luwes dan komunikatif. Tanpa ragu, “umi” pun menanggapi gerilya modernisasi pembaharuan musik dangdut yang dikomandoi Rhoma Irama. “Saya dengar musik ‘Soneta’ terlalu banyak unsur melodinya, kayak musik rock. Jadinya lagu Oma atau Rita yang mestinya sedih itu kabur. Mungkin maksud Oma untuk memodernisir dangdut, tapi jadinya begitu… Saya ‘nggak ngerti!” katanya lagi. Elvy menilai lagu dan musik dangdut “Soneta” lebih baik, seperti era lagu “Begadang” atau “Darah Muda’.

“Belakangan sih sudah lari dari kemelayuan. Sudah menyerupai band, cuma nyanyi dangdutnya masih ditolong sama gendang dan suling..” ungkapnya lagi. Elvy yakin, musik dangdut tidak bisa lari ke musik rock, atau musik lainnya. “Musik dangdut itu harus punya keayuan. Dangdut itu harus ayu…” katanya. Senyumnya mengembang. Maksudnya? “Yaaa.., jangan terlalu rame! Sederhana aja. Pokoknya kayak ‘Soneta’ dulu…” tandas Elvy. Terbukti, mantan pasangan duet Rhoma Irama ini masih menaruh kepedulian membaca kelangsungan musik dangdut “Soneta”.

Bukan hanya Elvy Sukaesih. Siapapun bebas menilai dengan persepsinya masing-masing. Namun tanggapan yang paling bijak, agaknya dari Mansyur S, dalam obrolan sekilas di Garut. Bahwa, apapun bentuk kreasi musik dangdut ,sebaiknya biarkan saja berkembang, dan bersaing secara sehat. “Keragaman dangdut itu punya pasar masing-masing. Ada yang suka musik dan lagunya Oma Irama. Ada juga yang suka Mansyur S. Mereka bebas memilih seleranya…!” Mansyur S tertawa.

Sekian lama, saya tak pernah bertemu lagi Rhoma Irama. Tokoh pembaharu musik dangdut itu makin menguatkan dominasinya di kancah musik dangdut modern. Bahkan kehadiran Marakarma, dan Nano Romansyah pun, yang pernah membayangi warna “Soneta”, tak mampu menggoyahkan tahta sang “kaisar” Rhoma Irama. Sama seperti di kancah musik pop, pesatnya sukses kehadiran Ebiet G Ade (1979), pernah menggoda kelahiran Endar Pradesa dan Tommy J Pisa. Namun pembayang itu lalu hilang dari permukaan. Ebiet tetap mandiri. Rhoma Irama pun tetap perkasa. ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *