SENI HIBURAN

Menapak Jejak Rhoma Irama : Luka Hati Menggores Suatu Pagi

Yoyo Dasriyo, Elvy Sukaesih, Man King’s dan Cang Anwar, dalam potret perjumpaan di balik Gedung “Sumbersari”Garut (1975). (Dokumentasi: Yodaz)
Yoyo Dasriyo, Elvy Sukaesih, Man King’s dan Cang Anwar, dalam potret perjumpaan di balik Gedung “Sumbersari”Garut (1975).
(Dokumentasi: Yodaz)

Menapak Jejak Rhoma Irama : Bagian (23)

Oleh: Yoyo Dasriyo

PENANTIAN itu laksana siksa tanpa luka. Harap-harap cemas, masih belum juga terpecahkan. Saya dan (alm) Denny Sabri, mencoba bersabar menunggu di dalam sedan. Bayangan manis menggoda, dengan kemunculan petugas Satpam membawa kabar segar. Berulangkali pandangan mengitari arah pagar besi, yang terpancang rapi di atas bangunan tembok, hingga wajah depan bangunan rumah itu tersembunyi. “Coba dong you tanyain lagi sama Satpam…!” omong Denny Sabri.

Manakala pandangan terpusat ke arah pos jaga di rumah Rhoma Irama, sosok petugas itu belum tampak lagi. “Satpam-nya ‘nggak ada, ‘Kang Den..! Mungkin masih di dalam..” balas saya tanpa keyakinan. “You masih mau nunggu…?” tanya Denny kemudian. Saya bergeleng kepala. Perhitungannya, lain kali masih bisa bertandang lagi. Itu kunjungan spekulasi, dari langkah yang tersisa di Jakarta. Maklum belum ada fasilitas Hand Phone untuk mengabari kunjungan, atau meminta kesiapan perjumpaan.  Saya tak pantas kecewa. Hanya saja terlupa menanyakan, batas waktu mereka latihan.

Tak sempat juga bertanya tentang jadwal latihan rutin “Soneta Grup”. Sedan perlahan melaju dari depan rumah sang “Kaisar Dangdut” Indonesia. Namun pikiran masih belum beranjak dari tempat yang menjanjikan kenyamanan itu. Rasanya manusiawi, kalau siang itu saya tergoda meragukan layanan sikap petugas Satpam. Benarkah titipan pesan tertulis di balik kartu nama itu, disampaikan ke tangan Rhoma?

Terpikir lagi, kalaupun benar, pesan itu dimungkinkan harus menunggu hingga latihan musik usai. Dalam diam, saya mengkaji langkah salah. Tak terpikir mengajak petugas jaga itu berbincang. Banyak lagi langkah salah lainnya, yang menebalkan penyesalan. Sungguhpun begitu, resiko kunjungan tanpa kabar ke rumah artis, makin menguatkan pembenaran, bahwa sebagai “pemburu” – perjumpaan itu lebih berpeluang tergelar di luar kota. Di balik pergelaran pentas musik. Atau, di lokasi syuting film.

Kedekatan yang pernah terbangun dengan seseorang artis waktu berada di daerah, belum sepenuhnya menjamin kemudahan perjumpaan lain di Jakarta. Banyak pelajaran berharga dari peristiwa, yang pernah saya lintasi di hari-hari kemarin. Pertemuan yang tertunda dengan Rhoma Irama di rumahnya, bisa dipahami karena rintangan perbedaan kepentingan. Saya harus memahami dan menghargai kesibukan orang lain. Lain lagi dengan “luka hati”, yang pernah menggores, saat tandang ke rumah Elvy Sukaesih.

Suatu pagi, medio Juli 1978, seorang diri saya melacak rumah “umi” Elvy di Jl Dewi Sartika, Gg Usaha, Jakarta Timur. Bukan untuk wawancara, tapi urusan bisnis untuk menggelar show Elvy Sukaesih di Garut. Saya hanya mewakili panitia. Seorang wanita muda lalu mempersilakan saya menunggu di teras rumah Elvy, setelah identitas profesi saya dikenalinya. Seperangkat kursi rotan tergelar di teras, yang terlindung tirai. Besar harapan, untuk segera bisa jumpa Elvy. Saya mulai menempati kursi itu Pkl 09.45.

Dari balik kaca, membayang sosok tamu lain di dalam ruangan rumah. “Mas tunggu aja dulu. Masih ada tamu…” kata pembantu rumah dengan keramahan sikapnya. Namun, penantian itu rupanya harus memanjang. Saat tamu sudah lama pamitan, saya masih berada dalam “daftar tunggu”. Kegelisahan bergalau kesal pun memanggang. Seorang tamu lain yang baru datang, menunggu hingga sempat terlelap di kursi. Saya tersentak. Jarum jam tangan menunjukkan Pkl 11.30. Hampir dua jam. Di ujung penantian itu, saat memutuskan pamit, perempuan tadi hadir lagi mengantar senyum. “Silakan masuk, Mas….” ***

Bersambung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *