SENI HIBURAN

Menapak Jejak Rhoma Irama: Negatif Film Saksi Bisu Peristiwa

Sepeninggal (alm) Veronica, grup band “The Beach Girls” berganti nama “The Queen”. Dari kiri; Yetty Wijaya, Freddy, (alm) Anny Kusuma mantan pimpinan “The Beach Girls”, Yoyo Dasriyo dan (alm) Deng Zaenal di Gedung “Sumber Sari” Garut.(1975). (Dokumentasi Yodaz)
Sepeninggal (alm) Veronica, grup band “The Beach Girls” berganti nama “The Queen”. Dari kiri; Yetty Wijaya, Freddy, (alm) Anny Kusuma mantan pimpinan “The Beach Girls”, Yoyo Dasriyo dan (alm) Deng Zaenal di Gedung “Sumber Sari” Garut.(1975).
(Dokumentasi Yodaz)

Menapak Jejak Rhoma Irama: Bagian (28)

Oleh: Yoyo Dasriyo

BETAPA saya hargai kesiapan Debby Rhoma, untuk menepis tudingan keraguan tulisan itu, dan meluruskan persoalannya. Bahkan, Debby menilai penting paparan romantika saya, karena berharga kesejarahan. “Saya minta izin mau share semua tulisan itu ke Papa..” tulisnya kemudian. Dengan senang hati, saya izinkan. Saya hanya kenal puteri Rhoma Irama dan (alm) Veronica itu waktu baru berusia empat tahun. Kami pernah bersama dalam perjalanan estafet “Soneta” dari Garut, Tasikmalaya, Banjar, Sumedang dan Ciawi, Tasikmalaya.

Selepas itu, belum pernah lagi jumpa Debby Rhoma. Berbeda dengan Nia Zulkarnaen yang saya kenal waktu puteri aktor film (alm) Dicky Zulkarnaen itu masih gadis kecil (1976). Perjumpaan berulang dalam suasana diskusi film “King” di kampus Universitas Pasundan, Bandung (2010). Gadis kecil yang kini dikenal sebagai isteri Arie Sihasale itu sudah jadi produser film. Manakala pandangan Nia menyapu ke seisi ruangan diskusi, sengaja saya berkelit ke balik sosok para peserta diskusi. Namun, rekan H Eddy D Iskandar terlanjur menyebut nama dan minta saya berdiri.

Usai diskusi, Nia melonjak dan menjabat tangan saya. “Eeeh..ini mah Si Akang dari Garut tea…!” sambutnya ceria. Nia lalu memperkenalkan suaminya. “Kang Ale, Akang ini teman almarhum Papa …!” Saya bersyukur, Nia Zulkarnaen masih menaruh hormat pada sejarah. Agaknya tinggal tiga “gadis kecil” lagi yang belum pernah mengulang perjumpaan itu; Debby Rhoma, Rossa dan Firdaussy Machdar, yang pernah dicalonkan sebagai pemeran (alm) Nike Ardilla kecil, dalam pra produksi film “Bintang Kehidupan” (1996).

Di balik proses penuturan kisah menapak jejak Rhoma Irama, sertamerta saya tergoda ingin membuka “harta karun” lain berupa “klise” (negatif film hitam putih), yang masih tersimpan dalam deretan klise film keartisan lainnya di lemari tua. Besar harapan saya, masih bisa menemukan negatif film semasa aktif di balik panggung “Soneta Grup”. Andai saja, negatif film yang memuat aksi Rhoma Irama, Soneta Grup, (alm) Veronica, Debby dan Rita Sugiarto hari-hari kemarin, belum mengalami kerusakan, dimungkinkan bisa mencetak ulang foto dalam era-teknis digital.

Itu semua sangat berpotensi jadi penguat fakta sejarah. Saat ini baru terkumpul negatif film berwarna, yang mengabadikan kebersamaan panjang dengan (alm) Nike Ardilla, sejak sang “mega bintang” berusia 12 tahun (1987). Bisa dipahami, kalau rekan Bens-Leo yang pernah bersama jadi wartawan Majalah “Aktuil” Bandung, mengaku iri dan salut dengan kepemilikan dokumentasi foto seperti itu. Saya memang suka mengoleksi kesejarahan pribadi, dalam mengayuh biduk profesi.

Tak peduli rekan lain menertawai itu, seperti waktu saya buktikan sobekan tiket nonton show “The Mercy’s” (1973) di Garut, dan bekas tiket KLB (Kereta api Luar Biasa). Sebenarnya tiket perjalanan kereta itu atas nama rekan Ipik Tanoyo, sepulang liputan FFI (Festival Film Indonesia) 1984 Yogyakarta. Mas Hardo Sukoyo “atasan” saya di keredaksian film dan musik “Suara Karya Minggu” Jakarta, memberikan tiket yang tidak digunakan Ipik itu. Saya pun bisa ikut rombongan Menteri Penerangan RI, H Harmoko, dan artis film FFI dari Yogyakarta ke Jakarta.

Klise foto-foto Rhoma pun saksi bisu dari lintasan peristiwa. Kalau saya temukan dalam kondisi “layak cetak”, akan melangkapi akurasi pendataan, selain bentuk kliping tulisan saya di media cetak, seperti di media “Yudha Minggu”, “Suara Karya Minggu” (1975), Majalah “Aktuil” (1977), “Sinar Harapan”, Majalah “Violeta” Jakarta, “Pikiran” Rakyat’ dan Majalah “Top Hit” Bandung. Dalam kliping itu pula tersimpan profil Itje Tresnawaty yang dimuat Majalah “Aktuil” (1975), saat penembang lagu fenomenal “Duh Engkang” dari Tasikmalaya itu, masih membangun kariernya dari panggung ke panggung hiburan di kawasan Priangan Timur ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *