SENI HIBURAN

Menapak Jejak Rhoma Irama: Harga Momentum Sebuah Nama

Aksi Rhoma Irama dan “Soneta Grup” kekinian, di pentas musik dangdut. Warna musik dangdut rock dengan syair lagu bernapaskan religi, dan kritik sosial, jadi kekuatan spesifik Rhoma dalam kelangsungan kariernya   (Istimewa)
Aksi Rhoma Irama dan “Soneta Grup” kekinian, di pentas musik dangdut. Warna musik dangdut rock dengan syair lagu bernapaskan religi, dan kritik sosial, jadi kekuatan spesifik Rhoma dalam kelangsungan kariernya
(Istimewa)R

Menapak Jejak Rhoma Irama: Bagiaan (30)

Oleh: Yoyo Dasriyo

KEKAYAAN potret dokumentasi kebersamaan dengan Rhoma Irama, akan menguat andai saja terdukung dengan peranserta rekan seprofesi. Namun dengan kamera yang masih manual, tidak sembarang orang bisa menggunakannya. Apa hendak dikata, banyak peluang perjumpaan, yang terlewatkan kamera. Bukan hanya dengan Rhoma, sederet artis lain pun terpaksa berlalu dari kebutuhan dokumentasi. Sungguhpun begitu, saya sangat bersyukur, karena masih menyimpan foto momentum penting dalam mengayuh profesi. Foto yang merekam pertamakali saya menjumpai artis.

Sedikit orang tahu, jika (alm) Ellya M Haris, terbingkai sebagai artis pertama yang saya wawancarai. Itupun, sebelum saya berpangkat wartawan. Saat itu masih membantu keagenan koran HU “Suara Karya” di Tasikmalaya. Namun panggilan naluri memburu artis membara, saat terkabar Ellya menggelar show di Alun-alun Kecamatan Rajapolah, Tasikmalaya (19 Agustus 1972). Saya minta bantuan rekan Rosmajid yang pernah menggeluti dunia fotografer, untuk bisa menemui penyanyi dangdut papan atas waktu itu. Dari kampung Sayuran, berdua naik motor Honda tua boncengan.

Dalam keremangan malam dan siraman gerimis, motor pun meluncur membawa angan jumpa artis. Kami menyeruakkan jejalan massa di Alun-alun Rajapolah, hingga bertemu sang artis di ruangan kantor kecamatan. Seketika orang berdesakkan di mulut pintu. Sebagian mengintip di balik jendela..Sempat grogi juga, waktu panitia menyebut saya sebagai wartawan! Saya berusaha mencairkan ketegangan, hingga bisa mengalirkan perbincangan komunikatif. Uniknya, pentas dangdut Ellya pula yang jadi momentum awal karya tulis saya di Majalah “Diskorina” Yogyakarta (akhir 1970).

Saat itu, reputasi Ellya M Haris tengah berkilat dengan sukses lagu “Kau Pergi Tanpa Pesan”, “Pengertian” dan “Sawen Kamahina”, lalu beraksi di Gedung “Sumber Sari” Garut bersama Band Rhapsodia. Hanya saja, saya belum bisa mencuri waktu untuk wawancara. Nonton pun, menempati kursi paling belakang. Pertemuan terakhir dengan artis legendaris dangdut pendendang lagu “Boneka India” (Ellya Agus) itu, berulang setelah berganti nama Elly Khadam. Pentas dangdutnya menghadirkan bintang tamu aktor film (alm) Dicky Zulkarnen dan Mieke Widjaya (1976) di Bayongbong, Garut.

Kapan dan di mana pun, suara Elly Khadam mengalun dengan lagu “Kau Pergi Tanpa Pesan”, proses titian karier saya pun kembali membayang. Harga kenangan itu sama dengan kekuatan historis di balik kepopuleran lagu “Begadang”, “Ani” dan “Rupiah” , berlapis “Cuma Kamu”, “Hitam” serta “Biduan”, yang mengusik ingatan saat kedekatan dengan Rhoma Irama dan Rita Sugiarto. Manakala kawan dekatt bertanya, sejak kapan nama Yodaz dipopulerkan di media cetak? Saya tak tngat lagi. Namun, tulisan tangan Rhoma, 3 September 1975, di Garut, kini memecah tanya itu.

Terbukti, tahun itu nama saya di media cetak belum permanen dengan Yodaz. Sesuai permintaan saya, Rhoma Irama mengalamatkan tulisannya untuk “Asri Sagit”: “Buat rekan Asri Sagit. Semoga anda dapat menjadi wartawan yang baik, sebagaimana diharapkan oleh bangsa dan negara” tulis Rhoma dalam kertas notes wawancara saya. Nama “Asri Sagi” pun tergores dari tulisan Elvy Sukaesih. Saya pilih nama Asri Sagit, yang bermakna Dasriyo berbintang Sagitarius! Nama itu sebelum kelahiran nama Yodaz di Majalah “Aktuil” Bandung.

Huruf “z” terinspirasi dari nama Hazanta, rekan wartawan di Jakarta yang sangat produktif. Keputusan menetapkan nama Yodaz, menggoda angan dalam perjalanan pulang dari kantor redaksi majalah itu di Bandung. Saat bis yang saya tumpangi menuruni Lebakjero ke arah Garut (1975), Yodaz jadi plihan nama saya hingga kini. Tak penah saya duga, tulisan Oma Irama itu jadi kesaksian momentum sebuah nama, di saat saya bimbang memilih Asri Sagit dan Yodaz. Goresan tangan Raja Dangdut itu bukti otentik, tahun 1975 nama Yodaz masih berproses. Apapun kata orang, tapi bagi saya itu harga momentum historis ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *