SENI HIBURAN

Terlupakan di Hari Pers Nasional: Sutradara Film Berlatar Wartawan

Aktris Lenny Marlina yang tahun 1980 melejit kembali di kancah perfilman negeri ini, serampung tampil dalam film “Guruku Cantik Sekali” karya ida Farida, mantan wartawati. (Dokumentasi Yodaz)
Aktris Lenny Marlina yang tahun 1980 melejit kembali di kancah perfilman negeri ini, serampung tampil dalam film “Guruku Cantik Sekali” karya ida Farida, mantan wartawati. (Dokumentasi Yodaz)

Terlupakan di Hari Pers Nasional: Bagian  (4 – Habis)

Oleh Yoyo Dasriyo

Namun. Piala Citra film Dewi-Cipluk” itu, justru dimenangi Ida sebagai Penulis Skenario Terbaik. Memang, bidang penulisan skenario banyak menguatkan sutradara berlatar kewartawanan. Profesi lama mereka di dunia penulisan, dimungkinkan mendukung karier penyutradaraan. Karenanya, mereka acapkali tampil rangkap jabatan; Sutradara, penulis cerita dan skenario. Dalam kondisi kekinian di kancah sinetron, pamor sutradara tidak lagi berkilau seperti masa lampau.

Kemudahan berkarier jadi sutradara sinetron, relatif tidak serumit jabatan sutradara film layar lebar! Sebaliknya, semua sutradara film generasi lama, lahir setelah melalui jenjang yang sarat uji-kelayakan. Legalitas jabatan sutradara pun ditimbang dengan karya filmnya,yang terkadang tak cukup dari satu film. itu sebabnya, derajat sutradara film nasional, dianggap lebih terpandang! Belum lagi dengan kemenangan bersaing merebut pasar filmnya, dan kompetisi bergengsi di arena festival.

Bisa dipahami, jika kalangan sutradara film senior mengaku, bahwa kepuasan berekspresi dan berprestasi di media film layar lebar, jauh lebih besar dibanding sinetron maupun film televisi (FTV). Belum lagi dengan kemenangan bersaing merebut arus penonton filmnya ke bioskop, dan kompetisi bergengsi di arena festival, yang menerbitkan kebanggaan tersendiri.

Dengan tugas dan tantangan beratnya, profesi sutradara film pun jadi bergengsi! Di saat perfilman nasional memasuki sukses kebangkitan kedua, ternyata belum menderaskan lagi karya jempolan dari sutradara berlatar wartawan. Baru tercatat nama Maruli Ara, yang layak sebagai penggarap sinetron apik. Dengan “Tiga Orang Perempuan”, Maruli mampu mengemas karya seni berdaya citra artistik.

Akan lahirkah sutradara film pujian karya mantan wartawan lainnya, di dunia persinetronan?

Itu masih tanya, yang belum terjawabkan. Dalam iklim multi media saat ini, layak jika media elektronik perduli mengemas paket seharga “Pekan Apresiasi Film Karya Mantan Wartawan”. Berkait tradisi tahunan dalam peringatan HPN, keberadaan acara itu bisa bermakna penghargaan bagi para mantan insan pers, yang bergelut dengan perfilman dan sinetron. Di balik itu, dimungkinkan jadi api penyemangat insan wartawan kekinian, yang berhasrat tampil sebagai sutradara. Siapa yang mau perduli….?

Sudah saatnya, insan pers Indonesia menaruh apresiasi atas sukses karier para cineas negeri ini, yang berlatar profesi kewartawanan, dalam memperjuangkan citra perfilman nasional. Bukti hormat dan kebanggaan itu, sebenarnya terbuka dalam pengemasan acara spesial dalam tayangan media pertelevisian swasta. Barangkali itu lebih pantas dikaji organisasi kewartawanan, yang membidangi film dan hiburan. Prestasi nyata para mantan wartawan di dunia perfilman nasional, seharusnya jangan tercampak dan terlupakan tergerus putaran zaman.

Banyak film sukses dan sinetron, yang mengemas peranan wartawan dalam alur lakonnya. Misalnya, Film Terbaik FFI 1980 dan FFI 1981, (film “Perawan Desa” dan “Perempuan Dalam Pasungan”) yang dua-dunya karya mantan wartawan (Franky Rorimpandey dan Ismail Soebardjo), Sebut pula film “Guruku Cantik Sekali” karya ida Farida mantan wartawati (1980), yang menggosok kembali pamor Lenny Marlina. Alangkah baiknya, film-film bermuatan kewartawanan itu ditayang ulang dan didedikasikan dalam peringatan HariPers Nasional..***

(Selesai)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *