SENI HIBURAN

Kisah Berdaya Jual Tentang Presiden RI: Kebebasan Berkreasi Dalam Film Nasional

Kematangan akting Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari, yang menguatkan sukses film “Habibie & Ainun”. Kejutan sukses pasar filmnya, memecahkan rekor film nasional terlaris sepanjang sejarah (1926- 2013). (Foto: Istimewa)
Kematangan akting Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari, yang menguatkan sukses film “Habibie & Ainun”. Kejutan sukses pasar filmnya, memecahkan rekor film nasional terlaris sepanjang sejarah (1926- 2013).
(Foto: Istimewa)

Kisah Berdaya Jual Tentang Presiden RI: Bagian (1)

Oleh: Yoyo Dasriyo

SOSOK perfilman nasional tak lagi senasib “perempuan dalam pasungan”. Kran kebebasan berkreasi sudah lama dibuka. Sangat lain dengan kondisi di masa pemerintahan Orba. Perwajahan film negeri ini kini ‘dihalalkan’, untuk melukiskan kisah seorang presiden seutuhnya. Bahkan, kejutan pasar film nasional tahun 2013, memecahkan rekor film lerlaris sepanjang sejarah (1926 – 2013), atas jumlah penonton fantastis untuk film “Habibie & Ainun”.

Sukses film karya Faozan Rizal yang memotret romantisme kehidupan mantan Presiden RI itu, lalu dibingkai dengan kemenangan Reza Rahadian, bergelar Aktor Terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) 2013 Semarang. Kelahiran film “Habibie & Ainun” yang membintangkan Bunga Citra Lestari sebagai “Ainun”, lalu bermandikan sanjungan dan pujian. Keragaman film nasional melegakan hati, dengan film-film kompetitif di peringkat yang membanggakan citra film Indonesia.

Semasa Orba, romantika kehidupan (alm) Ir H Soekarno – mantan Presiden RI pertama, belum menemukan jalan mulus untuk dikemas ke dalam film. Tahun 1982, lakon “Dipintumu Aku Mengetuk” yang siap digarap (alm) Drs H Asrul Sani, menghilang tanpa kejelasan. Kendala rencana produksi film yang pernah santer menominasikan (alm) Eddy Soed, untuk pemeran “Bung Karno”, berlalu begitu saja. Saat itu, kalangan orang film menyebut, iklim politik di negeri ini belum memungkinkan untuk memfilmkan kisah Bung Karno!

Tragisnya, judul film “Di Bawah Lindungan Ka’bah” (1978) saja, harus kompromi dengan situasi hingga berganti judul “Para Perintis Kemerdekaan”. Film apik dan menarik dari Asrul Sani yang membintangkan Mutiara Sani, Cok Syimbara, Camelia Malik serta (alm) Arman Effendy itu, kehilangan daya–jualnya atas kepopuleran novel Hamka. Itu ilustrasi dari pasungan ketokohan (alm) Soekarno, maupun (alm) Soeharto dalam media film.

Pemunculan figur kedua tokoh nasional itu, belum bisa beranjak dari penceritaan berkultur kesejarahan, atau kaitan peristiwa nasional. Bukan film berkapasitas biografi presiden. Kalaupun pernah lahir film “Nyoman Dan Presiden” karya Judy Soebroto, sinetron “Tegar” ataupun “Kepak Sayap Burung Garuda” karya Vick Hidayat, yang membutuhkan penampilan figur Soeharto sebagai Presiden RI, hanya merangkai gambar dari momen tertentu. Bukan hasil syuting langsung!

Kenang kembali film “Peristiwa Tjikini” dalam kondisi ‘tempo doeloe! Heboh yang menuai daya jual filmnya, karena dukungan rekaman gambar peristiwa ledakan granat, yang pernah mengancam keselamatan Bung Karno di Cikini, Jakarta. Apapun kenyataannya, tidak akan mengubah kesaksian perfilman Indonesia, atas potret putaran sejarah masa lampau. Kejutan yang membanggakan, saat era-Reformasi melahirkan sinetron “Cinta Fatma” (Agustus 2007).

Sebuah tayangan lakon menarik, tentang cinta segi-tiga Bung Karno di antara Ibu Fatmawaty dan Ibu Inggit Garnasih, di tengah perjuangan kemerdekaan RI. Sayangnya, lakon yang menokohkan Donny Damara sebagai Bung Karno muda itu kurang pendalaman. Figur Donny masih merentang jarak pemisah, dengan sosok Proklamator RI. Tidak didukung dengan kemantapan vokal sang tokoh, yang dikenal amat spesifik!

Sebenarnya, sosok Bung Karno dalam sinetron itu, dimungkinkan bisa tertolong, andai tidak memaksakan pemeran yang sudah terlanjur dikenal sebagai bintang sinetron. Walau begitu, lakon semacam “Cinta Fatma”, sekian lama banyak didamba penonton film dan televisi. Terlepas dari kekurangannya, setting lokasi klasik yang menawan, sangat membantu daya pikat sinetronnya. Ternyata, kisah Bung Karno yang menjanjikan kemenangan pasar, seakan tiada pernah habis mengusik naluri bisnis film nasional.

Film “Soekarno, Indonesia Merdeka”, dalam kekinian lahir di antara pro dan kontra. Film karya Hanung Bramanthyo ini menduetkan Ario Bayu dan Paramitha Rusadi. Judul lainnya, “Ketika Bung Di Ende” kemasan Viva Westi, yang diperani Baim Wong dan Paramitha Rusadi. Drama cinta segi tiga Bung Karno, dikemas pula ke dalam film bertajuk, “Kuantar Ke Gerbang”. Namun sederet film yang memotret drama romantis itu masih belum membayangi kemenangan pasar film “Habibie & Ainun” ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *