SENI HIBURAN

Kisah Berdaya Jual Tentang Presiden RI: “Serangan Oemoem” Dalam Banyak Film

Penampilan meyakinkan (alm) Amoroso Katamsi sebagai “Mayjen Soeharto” di film “Pengkhianatan G-30-S/PKI” karya (alm) Arifien C Noer. Dalam sudut pandang tertentu, Amoroso Katamsi memiilki kedekatan dengan figur tokoh aslinya. (Foto: Istimewa)
Penampilan meyakinkan (alm) Amoroso Katamsi sebagai “Mayjen Soeharto” di film “Pengkhianatan G-30-S/PKI” karya (alm) Arifien C Noer. Dalam sudut pandang tertentu, Amoroso Katamsi memiilki kedekatan dengan figur tokoh aslinya. (Foto: Istimewa)

Kisah Berdaya Jual Tentang Presiden RI: Bagian (2)

Oleh: Yoyo Dasriyo

SEBELUM Orde Baru tergelar pun, gambaran kepemimpinan (alm) HM Soeharto pernah mewarnai perwajahan film nasional. Berlatar peristiwa penting dalam kelangsungan hidup berbangsa dan bertanah air, sejumlah film nasional memuat lakon kilas-balik perjuangan “Pak Harto’”. Dengan keberangkatan tokoh berbasis kemiliteran, film-filmnya pun memotret perjuangan pasukan TNI bersama rakyat. Terlebih karema banyak film kenangan revolusi untuk kemerdekaan Indonesia, berdaya tarik spesifik di pasar film negeri ini.

Sukses komersial, terutama dicapai dengan kemasan lakon fiktif tanpa beban politis. Ingat kembali film-film seperti ‘”Pedjoang” (1960), “Anak-Anak Revolusi” (1964) karya (alm) H Usmar Ismail, “Sehelai Merah Putih” atau “Perawan Di Sektor Selatan” (1971) garapan (alm) Alam Rengga Surawidjaya. Sebut pula film “Lebak Membara” berikut ‘Pasukan Berani Mati’ dari Imam Tantowi, serta “Budak Nafsu” karya (alm) Drs Syumandjaya. Selebihnya, lahir film perjuangan yang mengemas kesejarahan, tanpa penonjolan pelaku sejarahnya.

Dua film diantaranya, bertitel “Mereka Kembali” (1972) karya (alm) Nawi Ismail, dan “Bandung Lautan Api” (1974) dari Alam Surawidjaya. Bisa dicermati, sukses filmnya berbeda dengan “Toha Pahlawan Bandung Selatan” garapan H Usmar Ismail, yang menjual heroisme Mochammad Toha (alm Ismed M Noor) sebagai figur sentral pelaku sejarah. Lain pula dengan tokoh “Soeharto” dalam film, yang dinilai bermuatan kepentingan pemerintahannya.

Film “Janur Kuning” (1980) karya Alam Rengga Surawidjaya, mengawali romantika perjuangan dan kepemimpinan “Letkol Soeharto”, dalam “Serangan Oemoem” (1 Maret 1949). Itu sebabnya, Alam Surawidjaya yang identik sebagai “sutradara spesialis” film epos, lebih fokus menokohkan figur “Pak Harto” dalam peperangan. Namun tahun 1951 pun, Usmar Ismail pernah melukiskan peristiwa ”Serangan Umum” secara umum, dalam film “Enam Djam Di Djogja”.

Lahir kemudian film “Serangan Oemoem”, yang dibuat tanpa muatan politis. Bahkan, kedua filmnya lahir, semasa tokoh “Soeharto” masih aktif sebagai perwira TNI-AD. Di luar perhitungan banyak orang, jika sang tokoh lalu berjaya sebagai Presiden RI sepanjang Orde Baru. Ternyata lakon serangan umum di film “Janur Kuning” yang bertokoh sentral “Letkol Soeharto”, menguntungkan kehadiran (alm) Kaharudin Syah pelakon “Letkol Soeharto”.

Sutradara Arifien C Noer juga memotret peristiwa tempur di Yogya, dalam film “Serangan Fajar”. Dengan kaidah sinematografi berdaya pujian, “Serangan Fajar” berjaya sebagai Film Terbaik FFI 1982-Jakarta. Terlepas dari faktor kemiripan pemeran figur “Soeharto” antara (alm) Kaharudin Syah dan (alm), Amoroso Katamasi, namun sosok Kaharudin berdaya komersial atas gelar “Aktor Terbaik” di FFI 1978-Ujungpandang, dari film “Letnan Harahap” karya (alm) Sophan Sophiaan.

Walau begitu, sosok Amoroso Katamsi memang lebih kental dengan tokoh “Pak Harto dengan tiga filmnya, sejak film “Pengkhianatan G-30-S/PKI” dan “Djakarta 1966” karya (alm) Arifien C Noer, serta film “Gema Kampus 66” karya (alm) Nico Pelamonia. Bahkan sukses besar pasar filmnya, dicapai film “Pengkhianatan G-30-S/PKI”. Piala “Antemas” di FFI 1985–Bandung, jadi bukti pengakuan filmnya sebagai film terlaris sepanjang tahun 1984.

Film yang kemudian menyulut gunjingan kontroversial itu, memotret sukses kepemimpinan “Pak Harto” lebih mendalam, saat berkapasitas Pangkostrad di masa pemulihan keamanan nasional, selepas guncangan badai politik PKI. Itu film duka para jenderal TNI-AD, yang diculik dan jadi korban keganasan massa pendukung PKI. Penggambaran tokoh “Pak Harto” yang memimpin penggalian jenazah para jenderal di sumur tua Lubang Buaya, menderaikan tangis luka bangsa, dalam cekaman tragedi berdarah yang memilukan. ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *