SENI HIBURAN

Jelang Hari Film Nasional 2015: Ancaman Mulut Senapan Di Depan Kening…

Adegan menegangkan dalam sinetron ”Sajadah Anak Sejarah”(2000) garapan H Encep Masduki. Seorang diri di balik lubang persembunyian. (Foto: Gamanti)
Adegan menegangkan dalam sinetron ”Sajadah Anak Sejarah”(2000) garapan H Encep Masduki. Seorang diri di balik lubang persembunyian.
(Foto: Gamanti)

Jelang Hari Film Nasional 2015: Bagian (1)

Oleh Yoyo Dasriyo

SELALU membasah dalam ingatan saya. Pagi cerah di antara kerumunan penonton syuting film di Stasiun KA Garut, saya mulai diracuni keinginan untuk bisa menjual akting di depan kamera. Ingin seperti saya tonton waktu syuting film “Toha Pahlawan Bandung Selatan”, garapan (alm) H Usmar Ismail, tahun 1962 itu. Namun godaan itu lalu saya kubur, karena dipersaingkan dengan keberadaan. Saya bukan pemilik potongan bintang film.

Dalam perjalanan panjang mengayuh profesi, seringkali terdengar pengakuan dari kalangan orang film. Bahwa pertama berhadapan dengan kamera film, butiran keringat sebesar jagung berjatuhan. Bibir pun berat menggetarkan dialog. Ini mengusik lagi kepenasaran saya. Begitu beratkah beraksi di depan kamera? Mungkin, itu bagi orang awam. Tetapi dengan banyak meliput pembuatan film, saya berbesar hati untuk berani menjual akting sebatas kemampuan.

Terik mentari menyengat bumi Cibatu, Garut. Tahun 2011 di depan pos pintu lintasan kereta api itu, dua unit kamera film bersiap memotret adegan kedatangan kereta. Begitu terdengar alarm pintu kereta, bersambut gemuruh lokomotif KA dari suatu arah, sutradara Wawan Hermawan meneriakkan aba-aba: “Kamera……..! Eksyeeen….” Saya bergegas ke luar dari pos jaga pintu KA. Berdiri di tepian rel, menjemput kereta melintas dengan rangkaian gerbong panjang. Bumi yang dipijak bergetar. Angin menyapu debu, bertiup menampar muka.

Saya bukan seorang aktor! Tetapi adegan untuk FTV ”Stasiun Cinta” itu tercatat sebagai aksi saya ketigapuluh tujuh di depan kamera film. Kebetulan tokoh “Mang Jaka” itu diangkat dari kemasan skenario saya sendiri. Sungguhpun begitu, baru saya temukan peran tantangan di balik tokoh “Marjiman”, dalam sinetron “Sajadan Anak Sejarah” produksi TVRI Pusat (2000), garapan Encep Masduki. Sinetron ini menempatkan saya dalam kapasitas pemeran pembantu utama pria..

Tantangan itu bukan hanya karena harus mengimbangi akting (alm) Tino Karno dan (alm) Rita Zahara. Saya pun ditantang berdialog panjang. Dengan pengalaman panjang hari-hari kemarin, saya tak kecil hati. Tantangan itu bisa saya lewati. Berdialog sendirian di depan (alm) Rita Zahara. Tokoh “Marjiman yang saya mainkan harus bertutur tentang nasib “Karlina” (Eva Farida), korban tewas terkena peluru nyasar dalam tragedi Tanjung Priuk 1984.

Sepi mencekam kebisuan malam, di kampung Jangkurang Rancabango, Tarogong Kaler, Garut. Syuting digelar dalam keheningan. Sepanjang saya bertutur, Rita Zahara hanya merespon dengan isak-tangis keharuannya. Sang sutradara mengingatkan saya, agar menjaga tempo bicara dan konstan dalam ekspresi. Lega hati saya, adegan itu berlangsung mulus. Di depan kamera, saya lupakan nama besar Rita Zahara maupun Tino Karno. Saya berusaha konsen, menghidupkan karakteristik tokoh “Marjiman”.

Memang ketegangan sempat memanggang, ketika digelar pengambilan gambar penyelamatan “Karlina”, dalam tragedi seperti peristiwa Tanjung Priuk. Tengah malam sunyi. Hujan deras baru saja reda. Sendirian harus jongkok. Sembunyi di balik reruntuhan tembok belubang. Sesaat kemudian tampak mulut senapan mengarah ke depan kening. Waktu mengangkat wajah, hanya terlihat ujung sepatu tentara. Saya harus tersentak dalam cekaman ketakutan.

Saya mesti gemetar, sambil mengangkat kedua tangan dan bermohon ampun. Tentara itu pun berlalu. Perlahan saya merayap, dan berlari melangkahi sejumlah sosok mayat, yang bergelimpangan banjir darah di hamparan tanah becek. Secepat itu memburu “Karlina”, yang menangisi jasad “Kyai Bahrul” suaminya (Agus Salim). Beban peran lalu memberat. Sutradara meminta adegan menarik “Karlina”, hingga tewas terkena peluru nyasar harus “take one”! Satu kali jadi. Jangan sampai diulang.. Ya ampun, saya bukan aktor. Mampukah saya…?

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *