SENI HIBURAN

Jelang Hari Film Nasional 2015: Ganteng dan Tegap Bukan Keharusan

Sebuah adegan sinetron “Sajadah Anak Sejarah” (2000).Ledakan adegan peluru nyasar memecah keremangan malam. Kilatan api merobek bagian punggung Eva Farida.Jerit dan isak tangis menyayat hati.(Foto: Gamanti)
Sebuah adegan sinetron “Sajadah Anak Sejarah” (2000).Ledakan adegan peluru nyasar memecah keremangan malam. Kilatan api merobek bagian punggung Eva Farida.Jerit dan isak tangis menyayat hati.(Foto: Gamanti)

Jelang Hari Film Nasional 2015: Bagian (2)

Oleh Yoyo Dasriyo

HENING dalam keremangan malam. Berulangkali saya bisikan ke Eva Farida, agar tidak lupa menyentakkan genggaman tangan di puncak rontaannya. Itu jadi kode saya melepaskan tangannya, yang harus pas dengan ledakan dinamit kecil. Detik-detik jelang pengambilan gambar, kami pun diingatkan sutradara, untuk tidak mengantongi sejenis “isim” atau benda yang diangap keramat. Banyak peristiwa terjadi, trik dinamit tak pernah mau meledak, karena terhalang benda beraura pusaka dalam pakaian pemainnya.

Kebetulan, saya tak pernah punya Gesit sekali sutradara berlari ke samping kamera. Dinamit kecil yang terpasang sembunyi di balik mantel bagian punggung “Karlina”, siap diledakkan tepat saat tangan perempuan muda itu terlepas. Aba-aba kamera terdengar. Bismillahir Rakhmanir Rakhim…., saya tarik tangan Eva yang masih meronta dan menjeritt memanggil-manggil nama suaminya. Saya selesaikan dialog “Marjiman”, hingga tangan Eva menyentak dan terlepas.

Seketika, bunyi ledakan dinamit kecil memecah keheningan. “Karlina” menjerit. Berkas kilatan api, merobek kostum bagian punggungnya. Saya buang muka., menghindarkan semburat darah buatan. Tubuh “Karlina” runtuh di sebelah jasad suaminya yang terbujur kaku. Saya memburu dan merangkul Eva, artis pengganti Uci Bing Slamet itu. Kamera terus merekam adegan panjang, hingga adegan “Karlina” menutup mata. “Cuuut….!” teriak Encep Masduki.

Gemuruh tepuk tangan semua kru dan penonton syuting, membarengi rasa syukur dan lega hati saya, selepas melintasi tantangan adegan itu. Kenangan terdalam di balik pemeranan “Marjiman” itu, menutup riwayat kebersamaan dengan (alm) Tino Karno dan (alm) Rita Zahara. Bagi saya, “Marjiman” sarat tantangan akting. Alhamdulillah, saya bisa melayani keinginan sutradara apik sekelas H Encep Masduki. Sebuah peranan yang pantas untuk seorang aktor profesional.

Benarkah sosok dan kapasitas akting saya, mencukupi tuntutan karakteristik figur “Marjiman”? Serasa mimpi, Encep mengaku optimis pemeran “Marjiman” layak terjaring ke deretan nominasi “pemeran pembantu utama pria terbaik” dalam Festival Sinetron. Sayang, waktu itu festival sinetron tengah terhenti. “Sajadah Anak Sejarah” pun batal berlaga di festival. Nyaris tak percaya. menemukan peluang main dalam peranan penting, untuk sinetron karya sutradara sekelas Encep Masduki,

Terlebih, itupun tanpa melalui jaringan “casting”. Saya bangga ketika Encep Masduki merasa puas atas tampilan ”Marjiman”. Seumpama penyanyi, saya menemukan karakteristik lagu. yang tepat dengan kapasitas suara. Sebenarnya saya tak pernah kenal dengan sutradara ini. Entah apa sebabnya, sutradara pujian dari TVRI Pusat, yang sukses mengemas sinetron “Cinta Fitri” di RCTI itu, mempercayakan peran tantangan untuk saya.

Encep hanya mengaku tertarik melhat foto adegan saya dalam sinetron “Impian Pengantin 2”, yang terpajang di ruang tamu rumah saya. Waktu menyimak tokoh “Marjiman” dalam skenario Tandi Skober, terbaca tokoh itu akan membarengi “Dahlan”, yang diperani Tino Karno. Terpikir, peranan itu bisa menguntungkan pemain non bintang. Mana pernah saya tahu, kalau keberuntungan itu justru bakal saya miliki. Uniknya, waktu mendampingi “hunting” lokasi sehari suntuk, sang sutradara tak pernah menyebut nama calon pemeran “Marjiman”.

Tokoh penting itu lebih banyak tampil dibanding peran “Dahlan”. Waktu sutradara itu datang ke rumah, bersama Eva Farida dan kru sinetronnya, saya hanya diminta membantu mencarikan pemain pendukung dari Garut, Beberapa nama rekan saya usulkan. Bahkan, pernah memikirkan sosok, yang memenuhi gambaran figur “Marjiman”. Sepulang kru sinetron ke Jakarta, Encep menelepon saya. Pemeran “Marjiman“ tidak perlu dicari, katanya.

“Oh mau diisi pemain dari Jakarta, Pak..?” tanya saya. Sang sutradara malah tertawa. “Pak Yoyo siap main ‘ya jadi ‘Marjiman’! Perannya bagus lho…” katanya serius. “Saya jadi ‘Marjiman’…?” Saya terbengong. “Iyaaa…, sudah Pak Yoyo aja! Pelajari naskahnya ‘ya….” balasnya tandas. Selama mengenali tuntutan akting tokoh itu, lintasan perjalanan yang mengantar langkah ke kancah pemeranan serasa membayang. Saya tertegun. Benar, ganteng dan tegap bukan keharusan .

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *