SENI HIBURAN

Jelang Hari Film Nasional 2015: Kerelaan Menanggalkan Penampilan Keseharian

Potret kenangan Meriam Bellina dan Yoyo Dasriyo, selepas syuting film “Perawan-Perawan” (1981) garapan Ida Farida di Bandung.”Mer” masih seorang pendatang baru, yang diperkenalkan dalam film itu. (Foto: alm Denny Sabri)
Potret kenangan Meriam Bellina dan Yoyo Dasriyo, selepas syuting film “Perawan-Perawan” (1981) garapan Ida Farida di Bandung.”Mer” masih seorang pendatang baru, yang diperkenalkan dalam film itu. (Foto: alm Denny Sabri)

Jelang Hari Film Nasional 2015: Bagian (3)

Oleh Yoyo Dasriyo

SEMULA saya ingin menunjukkan bahwa wartawan bukan hanya pandai membuat berita, atau mengkritik film. Banyak wartawan mampu mewayangkan karakter orang lain di depan kamera film dan sinetron dengan permainan yang simpatik seperti Zaenal Abdi, dalam film “Pengantin Remadja”, “Biarlah Aku Pergi” serta “Sayangilah Daku” era 1970-an. Bahkan Franky Rorimpandey pernah bergelar “Aktor Pendatang Baru Terbaik” dalam “Pekan Apresiasi Film Indonesia” 1967, dari film “Fadjar Di Tengah Kabut”.

Di saat kelangkaan peluang dan ketatnya aturan seorang pendatang bermain film, (alm) Yayan Rusnadi wartawan senior Garut., lolos seleksi untuk berperan dalam film “Dikejar Dosa” karya Lukman Hakim Nain (1974). Salah seorang pendiri CWG (Corps Wartawan Garut) cikal bakal PWI ini, berperan sebagai pedagang di Pasar Wanaraja, yang rela beradegan ditampar (alm) Yan Bastian. Saya salut atas keberanian almarhum, menanggalkan gengsi wartawan hanya untuk main film.

“Keun wae kudu dicabok oge, asal Akang ngajaran maen film…!” begitu pernah diungkapkan almarhum sambil tertawa. Saya beruntung! Suatu pagi di lokasi syuting film “Atheis”, di simpang Jl Trunojoyo, Bandung, saya dikejutkan dengan permintaan sutradara (alm) Drs Syumandjaya. Tiba-tiba saja, sutradara kondang yang dikenal dengan film-film kritik sosial itu, minta saya beraksi di depan kamera. Saya yang tengah mengintip adegan film untuk pemotretan, seketika didandani memakai topi pegawai kantoran zaman Jepang.

Lengkap dengan kaca mata gaya John Lenon. Kamera kecil “Olympus” streep, segera saya titipkan ke seorang kru film. Saya disuruh berjalan sambil menjinjing tas kulit, ke arah delman, yang menunggu di pinggiran jalan. Terdengar aba-aba kamera. Saya bergegas naik delman. Perlahan delman pun melaju. Beberapakali pengambilan gambar dilakukan. Saya hanya duduk manis di dalam delman. Tak sadar, di antara sejumlah penonton syuting, Christine Hakim, Ernie Djohan, Pong Hardjatmo, Deddy Sutomo dan (alm) Kusno Soedjarwadi turut menyaksikan syuting itu.

Adegan “sekilas wajah” di film “Atheis” itu, yang memanjangkan cerita dalam kelangsungan profesi saya. Direntang waktu enam tahun, sutradara Ida Farida di Bandung, minta saya mendukung sebuah adegan keramaian asrama perempuan di film ”Perawan-Perawan”(1981). Itu film historis karier Meriam Bellina, semasa masih jadi artis pendatang. Enam tahun kemudian pula, peluang berakting datang lagi dari sinetron “Pilar Baja” di Bandung (1987), garapan (alm) Husein Kusuma. Lagi-lagi hanya sekilas wajah. Begitu balik ke Garut, dijemput syuting sinetron “Keputusan” karya Yossie Enes.

Saya dibujuk (alm) H Arman Effendy, memainkan peran penduduk di Kampung Jangkurang, Desa Sukamentri, Garut. Sinetron itu yang pertama memberi peran berdialog di depan kamera. Terasa, bahwa film “Atheis” meracuni saya, untuk bisa menemukan peluang main film, di tengah profesi meliput kegiatan syuting film. Namun sutradara TVRI Pusat, Vick Hidayat, yang sering menggarap sinetron di Garut, tidak pernah melirik saya untuk turut bermain dalam sinetronnya.

Pernah suatu hari, H Cheppy Effendy mengusulkan saya dalam garapan Vick Hidayat. Sang sutradara menanggapinya dengan senyum dingin. “Peran untuk Pak Yoyo itu mestinya yang necis-necis…” katanya, sambil membuang muka.

Ucapan itu mengusik tekad saya. Suatu saat saya harus membuktikan, bahwa saya rela dan berani tampil dalam peran orang pedesaan. Lepas dari penampilan profesi keseharian, yang dianggap selalu rapi.

Saya ingin tampil dengan sosok di luar keseharian. Hasrat itu semakin terbakar, ketika saya mulai merintis penulisan skenario film. Dengan skenario buatan sendiri, dimungkinkan saya leluasa membuat peran tertentu. Tanpa harus peran utama. Peluang mewujudkan obsesi itu terbuka, waktu Alvian – aktor yang tampil memikat di film “Lebak Membara” (1981), memilih saya sebagai penulis skenario “Tragedi Bagendit” (1986) untuk program produksi TVRI Pusat ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *