SENI HIBURAN

Jelang Hari Film Nasional 2015: Bersiap Tampil Jadi Tukang Tambal Ban…

Yoyo Dasriyo dan Nila Karlina, suami isteri dalam adegan film komedi “Bendi Keramat” (1988) garapan (alm) A Harris Haris di Garut. (Foto: Bachruddin)
Yoyo Dasriyo dan Nila Karlina, suami isteri dalam adegan film komedi “Bendi Keramat” (1988) garapan (alm) A Harris Haris di Garut.
(Foto: Bachruddin)

Jelang Hari Film Nasional 2015: Bagian (4)

Oleh Yoyo Dasriyo

OBSESI tampil di luar keseharian, seolah menjajah rasa. Namun sebagai pemula di dunia penulisan skenario film, naskah “Tragedi Bagendit” harus menjalani revisi berkali-kali. Terlebih karena ketatnya seleksi naskah di Bapersi Drama TVRI yang ditangani (alm) Sandy Tyas. Saya terdidik dengan banyak syarat penciptaan adegan filmis. Benar, kata sebuah ungkapan bijak: “Semakin bertambah ilmuku, makin aku tahu kebodohanku”. Kesabaran dan kegigihan terus diuji.

Saya mesti luruh ke dalam penantian panjang. Rupanya, selepas skenario itu lolos seleksi, penantian lebih panjang lagi datang menganga… Saya sempat terpukul kaget. “Tragedi Bagendi” menuai “tragedi”! Tidak kepalang tanggung, produksi sinetron ini harus ditunda selama tiga tahun, karena sutradara Agoes Widjojono menilai tidak ditemukan ketepatan lokasi syutingnya di Garut. Saya pesimis bakal memainkan figur pemuda desa, yang sudah saya ciptakan dalam lakon tradisional itu.

Pasrah merupakan pilihan penghabisan menghadapi “tragedi” pahit.. Dalam kecewa, saya ingat sebuah kendaraan bendi antik, yang menghiasi rumah kediaman (alm) Den Pandi di Cinunuk, Wanaraja, Garut. Rumah berwajah klasik itu pernah dikunjungi, waktu pencarian lokasi untuk sinetron “Tragedi Bagendit”. Setahun kemudian, bendi kuno itu mengilhami cerita dan skenario film komedi “Bendi Keramat”. Serasa mimpi! Skenario film itu diproduksi sebagai film layar lebar di Garut, yang disutradarai (alm) A Harris.1988).

Hati berbunga-bunga. Waktu itu, derajat film nasional lebih terpandang, dibanding paket sinetron yang belum jadi barang industri petelevisian swasta. Peluang saya terkembang, untuk mewujudkan obsesi dengan peranan lebih berarti. Bahkan dalam film “Bendi Keramat”, bisa memilih pasangan dengan Nila Karlina, artis jenjang berparas cantik dari Tasikmalaya. Sutradara pun tidak merubah adegan kemesraan cium pipi di film itu. Bagi saya, tahun 1988 tahun kemenangan.

Bisa intim dengan Nila Karlina, meski hanya semusim syuting. Berselang setahun, “Tragedi Bagendit”: diproduksi TVRI Pusat (1989) di Garut. Benar, kemampuan mengemas skenario, membuat saya bisa memutus jenjang untuk terobosan ke deretan pemeran penting Tidak harus lama merintis jadi “bintang sekilas wajaht”! Tak pernah terbayangkan, kalau kemudian saya dianggap sebagai wartawan Garut yang paling sering “menjual akting” di depan kamera film.

Serampung sinetron “Tragedi Bagendit”, sutradara Ida Farida minta saya tampil lagi di film ”Semua Sayang Kamu” (1989) di Bandung. Berperan jadi wartawan di persidangan rebutan anak Neno Warisman dan Uci Bing Slamet. Tak merasa bermain film, karena perannya seperti keseharian dalam berprofesi. Kalaupun tahun 1989 berperan sebagai operator di studio rekaman, namun sinetron “Ayu” garapan Tata Suzeta itu tidak jelas nasibnya.

Dalam rutinitas profesi di lokasi syuting, saya tak melewatkan kegiatan sinetron garapan Vick Hidayat di Garut, meskipun belum pernah tampil dalam sinetronnya.

Namun suatu hari di lokasi syuting, Vick menanyakan stok skenario saya. Segera saja skenario film “Selirih Bisikan Kasih”, saya tawarkan. Kebetulan Vick bertugas sebagai Kepala Bapersi Drama TVRI Pusat. Saya diminta mengirimkan skenario film itu ke TVRI, Tahun 1990 skenario film itu terpilih untuk tayangan paket bergengsi “Film Cerita Akhir Pekan”.

Saya dipanggil ke Jakarta. Ternyata H Alfadin sutradaranya sudah selesai malakukan pencarian lokasi syuting di Bogor. Sebenarnya skenario film itu saya targetkan, untuk membintangkan (alm) Nike Ardilla, yang baru berangkat populer. Tetapi Alfadin terlanjur memilih pendatang bernama Vinny Alvionita. Peran yang saya canangkan sebagai “Firman” pemilik kios pun, sudah terisi Sandy Nayoan, pendatang muda. Sutradara menawari saya berperan tukang tambal ban.

Saya segera meminjam kostum pekerja bengkel, dari saudara di Wanaraja, Garut. Pakalan montir yang lecek dan banyak kotoran oli. Saya minta jangan dicuci, agar menguatkan jiwa pemeranan. Terbayang asyiknya menonton akting (alm) Pietradjaya Burnama sang sutradara, waktu berperan tukang parkir di film “Pengantin Remadja”, dengan kostum pinjaman dari tukang parkir… Saya harus mampu bermain seperti itu. Mampu menirukan orang lain, karena akting hanya sebuah kepura-puraan. Akting melepas tampilan keseharian… ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *