SENI HIBURAN

Jelang Hari Film Nasional 2015: Dialog Mendadak Lenyap Di Depan Kamera

Yoyo Dasriyo, Elly Subardi, Hana Marlina dan (alm) Harun Syarief, dalam adegan sinetron miniseri “Impian Pengantin 2” (1994) garapan Amrin Riosa, yang memusatkan lokasi syutingnya di Garut. (Foto: Hendra Balai)
Yoyo Dasriyo, Elly Subardi, Hana Marlina dan (alm) Harun Syarief, dalam adegan sinetron miniseri “Impian Pengantin 2” (1994) garapan Amrin Riosa, yang memusatkan lokasi syutingnya di Garut.
(Foto: Hendra Balai)

Jelang Hari Film Nasional 2015: Bagian (5)

Oleh Yoyo Dasriyo

JELANG syuting di kawasan Bogor bersama Renny Djayosman dan (alm) Jack Maland, sutradara justru minta saya melupakan peran sebagai tukang tambal ban di kawasan Sempur itu,. Lagi-lagi saya harus akrab dengan kekecewaan. Peran itu diberikan ke Mustapa, sesama sutradara yang kosong dari kegiatannya. Saya pun memahami. Namun tampil tanpa gairah, dalam adegan tambahan di luar skenario. Sebagai seorang haji di sebuah adegan obrolan malam.

Saat itu skenario film “Selirih Bisikan Kasih”, hanya menuai kepuasan honorarium fantastis sebesar Rp 1 juta (Satu Juta Rupiah). Direntang dua tahun, dipertemukan lagi dengan Renny Djayoesman. Sutradara Oscar Anwar minta saya memerankan tokoh “Darwin Syachroji”, suami Renny Djayoesman di film “Harga Sebuah Palu” (1992) di Garut. Ini kehormatan, karena filmnya merupakan persembahan untuk (alm) Irwinsyah – sang “pendekar sinetron” TVRI Pusat.

Saya bermain langsung mendampingi Rio Irwinsyah – putera (alm) Irwinsyah dan Ida Leman. Tak tahu kenapa, dalam sebuah adegan malam, tiba-tiba saya lupa keseluruhan dialognya. Di depan kamera, sesaat saya tertegun. Peristiwa itu pula pernah terjadi dalam syuting sinetron legenda “Tragedi Bagendit”. Padahal, saya sendiri penulis skenarionyai. Saya berusaha konsen dan total dalam berperan. Namun rangkaian dialog itu hilang dari ingatan. “Kenapa, ‘Kang..?” tanya Oscar Anwar. Saya bergeleng kepala. Syuting tengah malam Jumat di Wanaraja, Garut itu, sebentar dihentikan. Berulangkali saya istighfar sambil menjatuhkan wajah,. Lalu, kembali membangun konsentrasi.

Banyak sobat dekat bertanya tentang honor saya dari film “Harga Sebuah Palu”. Saya kembali bergeleng. Bukan tidak dibayar, tetapi waktu itu pimpinan unitnya menunda pembayaran…., sampai terlupakan! Lain peristiwa terjadi jelang syuting sinetron “Impian Pengantin” (1993) di Garut, garapan H Maman Firmansyah. Orang wajar menduga, saya berperan sebagai “Mang Suwita” karena saya penulis cerita dan skenarionya. Padahal, itu karena keterpaksaan…

Tak pernah saya membayangkan jadi figur “Mang Suwita”. Namun Sutopo HS, Mang Udel hingga Mustapa calon pemeran tokoh itu,berhalangan hadir. Sutradara mendesak saya untuk memainkan tokoh “Mang Suwita’, mendampingi Rieke Diah Pitaloka, Hana Marlina dan (alm) HIM Damsyik. Keterpaksaan berperan jadi pembantu rumah, mengusik (alm) H Erwin Amril sang produsernya menampilkan saya lagi sebagai “Mang Kaja” dalam lakon “Badai Dalam Rumah” (1994)

Lucunya, dalam skenario karya Eddy D Iskandar itu, saya dianggap aktor siap pakai! Tiba-tiba Erwin mengajak buka puasa bareng di RM “Adi Rasa” Garut., lalu saya dibujuk datang ke Tasikmalaya esok harinya, menemui Amrin Riosa di lokasi syutingnya. Tanpa tahu skenario sinetronnya, tiba di Tasikmalaya memburu waktu buka puasa. Tak tahu pula siapa artis pendukung lainnya. Benar, wartawan yang tampil sebagai pemain di lokasi syuting, harus rela menanggalkan jabatan profesinya. Lupakan profesi sebagai wartawan. Saya pun harus luruh ke dalam sosok pemain.

Di lokasi syuting, kapasitas peran saya ternyata seorang pemilik sawah di kampung, yang dikunjungi gadis-gadis teman anaknya dari kota. Segera saja berganti kostum. Mengenakan kampret, celana hitam, kopiah, lalu melingkarkan kain sarung yang saya pinjam dari penduduk setempat. Saya melebur penampilan ke dalam gaya keseharian orang desa. Dalam keadaan berpuasa, matahari di atas hamparan pesawahan sangat memanggang bumi.

Syuting digelar. Saya berjalan menyusuri bentangan pematang, sambil menuntun langkah artis Farisa Yasmine dan Suciaty menuju ke arah saung. Tak seorang artis pun mengenali profesi saya. Malam harinya, saya bertandang ke penginapan Farisa untuk wawancara, Farisa Yasmine tertegun di batas pintu. Tatapannya yang indah menjelajahi sosok saya, yang menyandang kamera. “Lho…, mas ini kayak yang tadi siang main sama saya! Yang jadi ‘Mamang’ di sawah ya? Maaf, saya kira orang kampung situ….Saya ‘nggak tahu mas wartawan!” Farisa kemalu-maluan. ***
(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *