SENI HIBURAN

Jelang Hari Film Nasional 2015: Awal Ramadhan Dianiaya Tiga Perampok

Farisa Yasmine, Suciaty, Yoyo Dasriyo dan Icang Tisnamiharja, dalam adegan sinetron “Badai Dalam Rumah” (1994), garapan Amrin Riosa di Tasikmalaya. (Foto: Hendra Balai)
Farisa Yasmine, Suciaty, Yoyo Dasriyo dan Icang Tisnamiharja, dalam adegan sinetron “Badai Dalam Rumah” (1994), garapan Amrin Riosa di Tasikmalaya.
(Foto: Hendra Balai)

Jelang Hari Film Nasional 2015: Bagian (7)

Oleh Yoyo Dasriyo

SAYA harus merelakan rambut rapi itu dipangkas penata rias di ruangan kamar, tempat Yatie Surcahman berdandan. Itu pengorbanan saya yang paling mahal, dan mengenaskan untuk pemeranan di depan kamera. Menyakitkan! Mata saya berkaca-kaca. Bahkan, tak sampai hati melihat bayangan diri di kaca cermin. Langsung beraksi di pinggir keramaian jalan. Saya berusaha lagi menjernihkan komunikasi dan canda, dengan sutradara. Waktu saya terlupa ‘dialog, omelan sutradara pun tak tersimpan di hati.

“Alaaa…, masak sih dialog segitu aja lupa! Nulis di koran bisa berkolom-kolom” katanya. Kru sinetron tertawa. Di lain hari, saat saya konsentrasi di depan kamera, justru Encep Masduki mencandai saya di keheningan suasana: “Konsentrasi…! Siap Chrisye ya.. Eksyen!” Saya tergoda untuk senyum, disebut Chrisye.. Di luar dugaan, tahun 2001 itu saya berpeluang berperan dalam empat produksi. Tiga produksi lainnya berjudul “Hikmah”, “Kembang Ilalang” dan “Tamu-Tamu Malam”.

Tetapi saya terpaksa mengundurkan diri dari sinetron “Hikmah” di Cipanas, Garut, garapan (alm) Ipah Arifa. Padahal, untuk jasa peranan itu pernah adu tawar honorarium dengan Etty Sumiati di Hotel “Augusta”.. Meski pengambilan gambar hari pertama sudah dilakukan, namun peran itu harus saya lepaskan, karena muncul gejolak kecemburuan sosial dari kalangan pemain, yang berambisi untuk berperan. Kenyamanan suasana syuting pun terganggu dengan teror,

Saya rela melepas peran itu, karena karakternya kering. Bahkan bisa dimainkan sembarang orang. Melalui surat ke sutradara, saya sampaikan pengunduran diri iru untuk kelancaran syutingnya. Di lokasi syuting sinetron “Kembang Ilalang” arahan H Rano Karno di Lembang, Bandung, saya dibuat bengong. Tak pernah tahu peran yang harus dimainkan bersama Adipura dan Nani Somanagara. Saya dihadirkan ke lokasi syuting memenuhi “calling”. Tetaoi tak ada kejelasan.

Ternyata, hanya adegan spontanitas. Sebagai penjaga villa, yang bermain bola basket dengan Raka (anak H Rano Karno). Liku perjalanan karier jadi pemeran, membuat saya fasih memahami pengorbanan harga profesi keseharian.

Adakalanya, tak seirama dengan hati kecil. Sebagai pemain tak selalu menuai kenyamanan. Terjawab sudah tanda tanya tentang aktor, yang terkabar menolak peran untuk sebuah film atau sinetron. Tak pernah terbayangkan, kalau saya harus berani menolak peranan, seperti seorang aktor profesional. Pengunduran diri itu berulang, setelah sutradara Vick Hidayat bertandang ke rumah menyerahkan skenario “Tamu-Tamu Malam”. Untuk pertamakali saya diajak Vick berperan.

Lagi-lagi saya jadi pemeran pembantu utama pria. Vick Hidayat menyebutkan, peran “Mang Ujang” sengaja dibuat untuk saya. Ini sebenarnya kehormatan. Namun untuk berperan, saya selalu mengkaji kelayakan sosok dan kemampuan diri. Lakon itu bertema laga. Peran saya seorang pembantu yang dianiaya tiga perampok, hingga babak belur. Jadwal syutingnya, hari pertama Ramadhan. Kebetulan pula saya terkena flu berat.

Keputusan saya pasti, harus menolak peluang berperan. Saya hubungi Dede Sudirman sebagai pimpinan unit. Tetapi, Dede tidak berani menyampaikan pengunduran diri saya. “Pasti saya yang bakal kena semprot…” katanya. Lalu saya jumpai Vick Hidayat jelang berangkat ke lokasi syuting. Bermacam alasan saya, tidak diterimanya. Tak tahu kenapa, saya harus tetap berperan. Peran itu menuntut saya tak berdaya dianiaya. Wajah berlumur darah. Kedua tangan dan kaki terikat tambang ijuk. Sekujur tubuh harus basah kuyup, karena dikisahkan dimasukkan ke sumur,.

Untuk menjaga kemitraan, saya batal mengundurkan diri! Dalam lemas sambil menahan air di mulut, tubuh saya digusur di lantai. Saya harus rela total berakting. Syuting pembantaian saya hari itu bertepatan dengan penanggalan 23 November 2001. Hari ulangtahun saya.. Mungkin, itu “kado ulangtahun”…! Lagi-lagi panggilan datang dari “Karnos Film”. Masih juga tanpa kejelasan peran.

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *