SENI HIBURAN

Jelang Hari Film Nasional 2015: Nama Terpasang Di Pintu Kamar Wisma

Sebagai “Pak Usup” dalam sinetron “Titian Cita” arahan Encep Masduki di Perk Cimulang, Bogor. Pengorbanan mahal untuk sebuah kesederhanaan. (Foto: Ipung Karno’s)
Sebagai “Pak Usup” dalam sinetron “Titian Cita” arahan Encep Masduki di Perk Cimulang, Bogor. Pengorbanan mahal untuk sebuah kesederhanaan.
(Foto: Ipung Karno’s)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jelang Hari Film Nasional 2015: Bagian (6)

Oleh Yoyo Dasriyo

HATI berdesis, pantas artis remaja itu dingin setiap diajak berbincang. Namun lega juga hati saya. Mungkin saya berhasil meleburkan diri ke dalam peran yang diminta sutradara. Ketika sinetron “Impian Pengantin 2” diproduksi dengan sutradara Amrin Riosa (1994) di Garut, saya berpeluang mendalami tokoh “Mang Suwita”. Setelah tahu tokoh itu jadi miliki saya, perannya saya kembangkan. Saya belajar mencintai figur “Mang Suwita”, yang sebelumnya tak pernah saya lirik.

Mencintai peran memang kunci pemeranan, sebelum larut mendalaminya. Saya harus memiliki sosok “Mang Suwita” seutuhnya. Sepanjang lakon itu ditayang di RCTI, saya pernah dikenali orang sebagai “Mang Suwita”. Bukan lagi seorang wartawan Garut. Namun saya tak mau jadi pemain spesialis pedesaan.

Tahun 1998 sutradara Yunio Prihartoto menempatkan saya sebagai “Samsi”, guru SMA – rekan Vinny Alvionita, dalam sinetron “Pagar Maya” di Garut, Tokoh itu memberi kebebasan saya berpenampilan necis, berdasi dan berkaca mata. Sinetron ini pula, yang mempertemukan lagi dengan Vinny, setelah delapan tahun terpisah serampung film “Selirih Bisikan Kasih” di Bogor.

Vinny sang pendatang itu sudah jadi bintang! Peristiwa unik terjadi waktu syuting malam di bulan Ramadhan. Saya dan Vinny terkena flu. Sehabis minum obat, kami berdua duduk, dan besiap syuting di depan kamera. Namun syuting masih harus menunggu selesai alunan suara pengajian dari kejauhan. Tanpa sadar kami terlelap, jelang aba-aba sutradara untuk mulai syuting. Semua kru mendadak tertawa. Setiap berganti produksi, selalu saja diwarnai kebaruan suasana

Terkadang muncul ketidaknyamanan hati, seperti di lokasi syuting sinetron “Seorang Perempuan” (1999) garapan Neneng Sudiarti. Saya dibuat jengkel dengan ulah seorang kru, yang menganggap saya awam tentang teknis syuting film. Saya tahu persis keharusan pemeran “Mang Ano” penjaga villa, karena saya sendiri yang menulis cerita dan skenarionya. Tetapi orang itu terus menggurui saya, dengan nada suara tnggi dan tak bersahabat. Saya turuti saja apa maunya. Itu resiko. Saya tak pernah menyebut diri sebagai penulis skenarionya.

Orang itu pun malu hati, setelah tahu kapasitas saya. Namun peristiwa lain yang amat memalukan, terjadi karena ulah pemsin pendatang Seorang perempuan. Beberapa orang kru mengadu, mereka dibohongi perempuan itu yang merengek minta diantar pulang ke rumahnya, usai syuting tengah malam. Rupanya, rumah perempuan itu jauh di luar kota. Sesampai di rumahnya, semua kru dibujuk untuk bermalam. Saya dicurigai, mengumpankan perempuan itu agar dia main sinetron.

Astaghfirulahal adzim… Darah saya memanas. Terbakar Ingin menghajarnya. Namun kru menghalang. Orang itu memang titipan seorang rekan wartawan, yang masih asing. Siang itu kebetulan tidak ada di lokasi. Janji saya, tidak akan lagi membawanya bermain sinetron. Baru kemudian sadar, ulah seorang perempuan itu seperti cerminan dari judul lakon “Seorang Perempuan” Saya salah. Terlalu gampang menampilkan seseorang, yang belum pernah saya kenal…

Itu pelajaran pahit yang sangat berharga! Selepas main sinetron Sajadah Anak Sejarah (2000), sutradara H Encep Masduki menanyai kesiapan saya syuting di luar Garut. Tentu, saya tak harus selalu syuting di kampung halaman. Saya diminta datang ke Wisma “Ramayana” Bogor, untuk berperan di sinetron “Titian Cita” (2001) iproduksi “Karnos Film” Terus terang, saya tersanjung, karena berpeluang main sinetron di kubu H Rano Karno.

Kebanggaan itu berlipat, manakala nama saya terpasang di pintu kamar wisma, bersebelahan dengan kamar Yatie Surachman dan Atty Canser. Saya merasa jadi pemeran profesional. Namun kebanggaan mendadak terluka, karena sikap Encep Masduki mendadak dingin. Ternyata, sutradara ini tidak suka dengan penampilan rambut saya, yang baru ditata dari salon. “Bukan penampilan Pak Yoyo seperti ini, yang saya mau! Saya ingin tampilan Pak Yoyo yang alami, klasik, seperti waktu jadi ‘Marjiman’…” katanya.

Saya menyiasati penampilan. Rambut disembunyikan ke balik kopiah usang. Tapi kejelian Nurly Karno sang kameraman menemukan keganjilan. Penataan rambut sebagai “Pak Usup” suami Atty Canser, dinilai masih terlalu rapi dibanding rambut majikannya (Anton Sami’at). Celakanya koreksi itu justru detik-detik jelang syuting di Cimulang, Bogor. Siang itu penonton syuting berdesakan di belakang kamera. Sutradara dan para artis pun, menunggu perombakan penampilan saya..***.

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *