SENI HIBURAN

Jelang Hari Film Nasional 2015: Tubuh Terseret Perahu Nelayan Rancabuaya

Sebuah adegan Yoyo Dasriyo dalam film “Safana” (2010) karya Hornady Setiawan, berlatar samudera lepas pantai Rancabuaya, Garut Selatan. (Foto Gamanti)
Sebuah adegan Yoyo Dasriyo dalam film “Safana” (2010) karya Hornady Setiawan, berlatar samudera lepas pantai Rancabuaya, Garut Selatan.
(Foto Gamanti)

Jelang Hari Film Nasional 2015: Bagian (8)

Oleh Yoyo Dasriyo

Tahun 2002, saya diminta datang ke Wisma Berdikari” di Parung, Bogor. Sobat baik saya, H Nana Suryana pimpinan produksinya, hanya mengabari peran cocok untuk saya mainkan.dalam sinetron komedi “Usaha Gawat Darurat”. Saya tak banyak berpikir tentang peran. Lebih penting lagi,itu kesempatan saya bertemu H Rano Karno, untuk menyerahkan bukti skenario komedi “Siti Hompimpah” yang dipesannya waktu syuting “Kembang Ilalang” di Lembang, Bandung.

Untuk sinetron “UGD” yang melibatkan Nugi dan Udin Nganga, giliran syuting saya sempat mengalami penundaan selama seminggu. Bahkan, bisa pulang dulu ke Garut. Begitu datang lagi ke Parung, saya harus menunggu lagi di villa Nurly Karno, yang berlokasi di Pamulang, Tangerang. Tenyata, peran saya cuma sekilas wajah. Syuting tengah hari di depan Museum Gajah, Jakarta. Kostum mirip seorang gelandangan, tetapi saya lakoni saja.

Namun kekecewaaan atas peran itu pupus dengan kejutan. Ketika sinetronnya ditayangkan di TPI, nama saya terpasang dalam kredit titel sebagai “bintang tamu”! Mungkin setelah Rano Karno tahu, kapasitas saya sebagai penulis skenario. Peristiwa syuting film diwarnai lagi dengan peluang peran di film layar lebar.”Safana” (Maret 2010). Tim film “Safana”, meminta semua calon pemain di-“casting”. Kalau bukan bujukan Dadang Ridwan asisten sutradaranya, saya tak mau ikutan “casting” di studio radio “Gita” Cisurupan.

Mamang, selama ini belum peran ikutan jaringan “casting”. Namun Dadang minta saya untuk mencoba peran “Asikin”, bersama HM Guntur Palessa. Berselang beberapa bulan, sutradara filmnya berganti dari Irwan Siregar ke Hornady Setiawan. Terpaksa “casting” harus diulang di sebuah ruangan atas di Toko “Eka” Garut. Saya mengulang pengunduran diri. Pasalnya, tokoh “Atang” yang harus diperani itu seorang nelayan. Tentu, berurusan dengan ombak laut. Rancabuaya.

Saya tak mau memaksakan kehendak. Saya tahu diri. Tidak bersahabat dengan lautan. Apalagi harus berada di atas perahu, dengan debur ombak Rancabuaya yang menyeramkan. Tetapi Hornady berjanji, syutingnya tidak akan ke tengah laut. Rancangan blokingnya pun ditunjukan dalam laptop. Peranan itu pun saya terima. Keremangan pagi yang penuh kecemasan tiba. Selepas Shubuh, kru film datang menjemput semua pemain, yang harus syuting di tepian pantai.

Gemuruh debur ombak Rancabuaya yang ganas terhampar berkejaran. Beberapa perahu nelayan oleng dipermainkan ombak yang melumat bibir pantai. Sebuah perahu untuk syuting mulai diturunkan dari bak mobil. Saya tercekam kecemasan memandangi hamparan laut selatan. Sutradara tiba-tiba merubah kesepakatan. Saya harus mendorong perahu itu agak ke tengah lautan. Bayangan buruk pun menghantui. Saat kaki menyentuh permukaan laut, gelombang ombak datang beriring tiupan angin kencang

Perlahan air laut pasang. Tubuh saya goyang. Cepat memegang perahu. Syuting digelar. Ingin rasanya adegan itu cepat selesai, tetapi rekan pemain lainnya berulangkali salah dialog. Mau tak mau, syuting berulang-ulang. Gumpalan ombak kembali bertingkah, Perahu terseret lagi ke tengah lautan. Sutradara minta posisi perahu seperti semula. Syuting disiapkan menunggu ombak menyeret perahu, agar meringankan beban pemeran nelayan. “Kameraaaa….., eksyen!”

Celakanya, perahu terapung ke arah lain. Sekuat tenaga pun menahan perahu, justru tubuh. saya balik terdorong. Nyaris terjengkang. “Cuuut….!” suara Horry meninggi. Syuting terhenti. Badan lemas dan kedinginan. Terlebih dari hotel, tak sempat sarapan. Di antara gemuruh ombak, seorang kru film mengomel sinis. Saya tak bisa membiarkan omelan, yang melecehkan ketegangan itu. Lagi-lagi kru film itu mengomel dan mendekat. “Bapak takut laut ya? Masak nelayan takut sama laut…?” katanya. Saya pandangi orang itu. Tanpa kata. ***
(Bersambung) **

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *