SOSIAL POLITIK

Dalam Hal CSR, Chevron Telah Membangun Strategi Baru Social Invesment

Dony Indrawan, Coorporatee Communications Manager Chevron, saat berbicara dihadapan peserta E2S di Suminar Hotel Garut, foto Istimewa
Dony Indrawan, Coorporatee Communications Manager Chevron, saat berbicara dihadapan peserta E2S di Suminar Hotel Garut, foto Istimewa

Gapura Garut ,- Bersama puluhan praktisi media nasional, PT Chevron Pacific Indonesia menggelar Media Capacity Building Eergy and Mining Editor Society  (E2S) di Garut, Jawa Barat baru-baru ini.

Menurut Dony Indrawan, Corporate Communication Manager Chevron, dalam hal realisasi Coorprate Responsbility (CSR),  Chevron saat ini telah lama beralih dari sekadar memberikan bantuan semata, melainkan telah membangun strategi social invesment yang baru.

“Selama ini pola pembentukan masyarakat kepada CSR bahwa perusahaan melakukan pendekatan pilantropi. Ada masa dimana pola itu harus dilakukan dengan pola bantuan. Diawali pola yang dilakukan dengan bantuan infrastruktur,” Kata Dony dihadapan para peserta  media capacity building Energy and Mining Editor Society (E2S) tersebut.

Sejauh ini ungkap Dony, perusahaan migas dimanapaun, akan menyiapkan infrastruktur yang memadai, baik untuk karyawan maupun keluarganya. Untuk tahap awal, terutama di frontier area, perusahaan migas akan menawarkan kesejahteraan yang lebih dari memadai agar karyawannya bisa bekerja optimal. Akibatnya, timbul kesenjangan yang lebar antara masyarakat sekitar daerah operasi dengan perusahaan.

“Kesenjangan inilah yang kemudian diupayakan diperkecil melalui program-program social investment yang dilakukan Chevron. Namun seiring perubahan sosial masyarakat yang dinamis, program perusahaan bergeser dan tidak sekadar hanya memberikan donasi. Pasalnya, kalau terus melakukan donasi, tidak akan ada perubahan perilaku masyarakat sehingga mereka tidak mandiri dan berdaya”, Tuturnya.

Dony menambahkan untuk merealisasikan setiap bentuk CSRnya,  Chevron selalu meelibatkan banyak pihak untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat, sehingga menjadi dasar untuk melakukan kegiatan investasi Sosial.

“Kita melihatnya bagaimana membuat apa yang diberikan memberi manfaat berkelanjutan. Good business, apa yang bisa kita berikan, memberi dampak yang berkesinambungan,”Tandasnya.

Bagi Chevron menurut Dony, kegiatan CSR atau investasi sosial adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan operasional perusahaan. Ini adalah nilai yang tertanam dan menjadi pegangan dimanapun Chevron beroperasi.

“Kita tidak lagi bicara berapa dananya, apakah ini masuk cost recovery atau tidak. Karena bagi kita, kegiatan CSR atau Social Investment adalah bagian yang tidak terpisahkan dari setiap kegiatan operasional yang kita lakukan.”Pungkasnya.

Sementara itu Risna Resnawaty, pakar CSR dari Universitas Padjajaran Bandung, mengatakan CSR atau tanggungjawab sosial perusahaan, selama ini masih dipahami sebagai program yang terkait erat dengan pembangunan infrastruktur serta program yang sifatnya charity atau kebaikan perusahaan (community assistance). Padahal, CSR harusnya dipahami lebih luas lagi sebagai bentuk penguatan masyarakat, dimana masyarakat bisa mandiri dan bisa menyelesaikan persoalan mereka. Muara dari kegiatan CSR adalah community empowerment.

Risna menegaskan bahwa Kegiatan CSR yang benar, harus mampu memberi dampak positif baik secara ekonomi, sosial ataupun ekologis.

“Kegitan CSR yangn dilakukan perusahaan harus ada dampak positif secar ekonomi, kegiatan yang dilakukan dapat diterima oleh masyarakat dan kegiatan yang dilakukan harus memperhatikan pada lingkungan dan keberlangusngan manusia dalam lingkungan,”Ungkapnya.

Berdasarkan pengalamannya selama melakukan penelitian CSR di industri migas, Rsna membagi dua tipologi kegiatan CSR pasca dibubarkannya BP Migas dan digantikan oleh SKK Migas.

Menurutnya, sejak 2008, dana untuk kegiatan CSR tidak lagi bisa dilakukan cost recovery. Saat itu, ada penyelewengan, dimana ada kegiatan non CSR yang dimasukan sebagai dana CSR.

Setelah era BP Migas berakhir, tipe kegiatan CSR dibagi menjadi tipe ekonomis dan tipe reformis. Pada kegiatan CSR jenis ekonomis, perusahaan melakukan pengurangan pada beberapa bagian. Kemudian tipe selanjutnya yakni reformis, dimana meski sudah tidak masuk cost recovery, perusahaan tetap fokus melakukan kegiatan yang sama, lebih fleksibel dan kreatif.

Dalam kaca pandang Risna, ada tiga bentuk CSR yakni, community assistance, community relation dan community empowerment. Pada tahapan pertama, sifatnya hanya membantu dan megandalkan kebaikan hati perusahaan. Pada tahap ini, tidak ada pendampingan yang dilakukan, masyarakat juga tidak diajari untuk bertanggung jawab mengembalikan pinjaman. Sehingga, seringkali perusahaan hanya berperan sebagai ATM semata.

Untuk community relation, ini merupakan motif utama perusahaan melakukan kegiatan CSR yakni membangun relasi yang baik dengan masyarakat juga pemerintah setempat. Perusahaan memberikan sumbangan karena APBD kurang. “Ini tidak salah, karena mau tidak mau, perusahaan-apalagi perusahaan migas-, imejnya harus bagus. Dengan imej yang bagus, hubungan dengan pemangku kepentingan pun menjadi lebih baik,” tuturnya.

Selanjutnya untuk bentuk community empowerment, perusahaan, selain memberikan modal kepada masyarakat, perusahaan juga melakukan pendampingan, terus melakukan pemberdayaan agar masyarakat memiliki kapasitas. Memang prosesnya akan berjalkan lama, tetapi akhirnya masyarakat akan terbiasa. Ada upaya untuk meningkatkan produktivitas, memgembalikan pinjaman modal yang diberikan.  Muaranya, masyarakat tidak lagi tergantung kepada perusahaan dan menjadi mandiri serta memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan mereka sendiri.

“Ini (community empowerment) adalah bentuk yang paling ideal dalam melakukan program CSR,” imbuhnya lagi.***TG,  dikutif dari dunia-energi..com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *