SENI HIBURAN

Setelah FFI 2008 Berlalu dari Bandung : Citra Piala Citra Arman Effendy Tanpa Kepastian

Sebuah adegan film perjuangan “Anak-Anak Revolusi” (1964) karya (alm) H Usmar Ismail. Tampak aktor (alm) Wahab Abdi, (alm) Arman Effendy, (alm) Soekarno M Noor, dan Rachmat Hidayat (bertelanjang dada). Dari film ini, Usmar Ismail mengganti nama Asep Effendy menjadi Arman Effendy. (Dokumentasi Yoyo Dasriyo).
Sebuah adegan film perjuangan “Anak-Anak Revolusi” (1964) karya (alm) H Usmar Ismail. Tampak aktor (alm) Wahab Abdi, (alm) Arman Effendy, (alm) Soekarno M Noor, dan Rachmat Hidayat (bertelanjang dada). Dari film ini, Usmar Ismail mengganti nama Asep Effendy menjadi Arman Effendy. (Dokumentasi Yoyo Dasriyo).

Setelah FFI 2008 Berlalu dari Bandung (Bagian 1)

Oleh Yoyo Dasriyo

Festival Film Indonesia (FFI) bersiap lagi.digelar jelang akhir tahun 2014 mendatang. Bertolak dari pergelaran FFI 1973 Jakarta, saat arena festival itu dibangunkan lagi dari tidur panjangnya selepas “Pekan Apresiasi Film Indonesia” 1967, seharusnya arena FFI memasuki hiitungan ke 42. Tetapi itu tidak benar, karena pentas FFI pernah “runtuh” berkepanjangan sejak tahun 1992 hingga 2003, tertindih kehancuran produksi perfilman negeri ini. Lebih keliru lagi, saat Ketua Panitia Pelaksana (Panpel) FFI 2006 Ady Surya Abdi, menyebut FFI tahun itu sebagai FFI ke – 52. Kalaupun dihitung dari Pekan Apresiasi Film Indonesia (1955), tetapi pekan film itu belum bisa digelar.mentradisi setiap tahun.

Memang sejarah harus diluruskan! Termasuk keharusan Panitia FFI untuk perdul dengan nasib legalitas Piala Citra aktor film (alm) H Arman Effendy, yang terbalut tanya puluhan tahun. “Saya tidak tahu, kenapa nama saya tiidak pernah tercantum dalam daftar pemenang Piaia Citra FFI?” begitu seringkali diungkapkan almarhum semasa aktor film ini belasan tahun jelang wafatnya, terkurung sakit di rumah kediamannya di Garut, Arman Effendy selalu meminta Pantap FFI bersikap konsekuen dengan penetapan keputusannya.

Keheranan sang akor menguat, setelah luka hati di balik puncak FFI 1985 di Lapangan Gasibu Bandung. Malam itu Arman tersisih dari deretan artis film peraih Piala Citra sepanjang FFI, yang ditampilkan di pentas festival. “Saya benar-benar jadi malu hati! Sudah siap naik pentas, tapi panita tidak memanggil nama saya ..” kenang aktor Garut yang membuka kariernya dari figuran film “ Panggilan Tanah Sutji” (“Tauchid”) karya (alm) Drs H Asrul Sani (1961), yang sebagian berlokasi syuting di tanah Garut.

Ayah lima anak ini mengaku sangat terpukul atas persitiwa itu. Terlebih karena rekan-rekan seprofesinya lalu menggunjinkan status Piala Citra yang diterimanya di FFI 1973..Nasib sejarah seringkali terpinggirkan dalam kekinian. Kalangan insan perfilman pun terlupa, FFI pernah menghadiahkan Piala Citra untuk kategori Aktor/Aktris Harapan Pendatang Baru Terbaik. itu di FFI 1973 Jakarta, yang dimenangi Arman Effendy dari film “Mereka Kembali” karya (alm) Nawi Ismail, dan mendiang Tanty Yosepha dari film “Seribu Janji Kumenanti” (Iksan Lahardi).

Kemenangan ber-Piaia Citra itu jadi momentum berharga dalam karier filmnya, karena Arman pun pelaku peristiwa di awal pergelaran kembali FFI. Festival film yang berangkat dari Pekan Apresiasi Film Indonesia itu, “mati suri” sejak tahun 1967. Kebanggaan Arman kian bermakna, karena kemenangannya terjadi di awal kebangkitan kariernya bermain film (1972), selepas film Anak-Anak Revolusi (1964) karya almarhum Usmar Ismail. Bahkan, Arman menerima simbol supremasi perfilman nasional itu dari Ibu Usmar Ismail. -“Sebuah momentum yang sangat berharga dan mendalam sekali.” ungkap pensiunan karyawan Kantor Depdikbud Kab Garut ini di rumahnya, Jl A Yani 284 (Sukaregang) Garut.

Dalam kelangsungan FFI kemudian, penghargaan prestasi peringkat Aktor Harapan Terbaik atau Aktor Pendatang Baru Terbaik, tak pernah lagi berbentuk Piala Citra. Anugerah prestasi untuk kategori itu hingga kini acapkali berganti. Malangnya, sepanjang perguliran FFI, nama Arman Effendy, justru “tak pernah terdaftar” sebagai pemenang Piala Citra. Aktor film asal Garut ini hanya tertulis sebagai pemenang Piala Khusus FFI 1973. Kalaupun tercatat nama Tanty Yosepha, bukan berkapasitas Aktris Harapan Pendatang Baru Terbaik FFI 1973, karena pernah berjaya sebagai Aktris Terbaik FFI 1975 Medan dari film “Setulus Hatimu” karya Arizal.

Sepasang Piala Citra Akto & Aktris Harapan” FFI 1973 untuk kedua insan film itu, seolah tak pernah ada. “Saya tidak tahu, kenapa mesti terjadi seperti itu? Sampai saya beranggapan, apa mungkin Piala Citra saya dianggap tidak sah…? Lalu, apa alasannya? Di FFI 1973 itu, saya sama Tanty Yosepha sama-sama menerima Citra…” tutur kakek 14 cucu in, sambil menunjuk PIala Citra yang menghiasi ruangan tengah rumahnya. Besar harapan Arman Effendy,legaliitas Piala Citra FFI 1973 yang dierimanya akan dijernihkan jelang Bandung kembali jadi pribumi FFI ketigakalinya (2008), setelah tahun 1976 dan 1985.

Ketua Pelaksana FFI 2008, H Deddy Mizwar yang pernah saya hubungi melalui sms, mengaku tidak tahu-menahu tentang kasus Piala Citra Arman Effendy. Bisa dipahami, karena pelakon “Naga Bonar” ini baru menerjuni kancah film tahun 1977. Deddy meminta saya menghubungi Lambizar, yang aktf dalam kepanitaan FFI. Namun, sutradara film “Langt Kembali Biru” (1991) itu masih kesulitan melacak kejelasan infromasi dari panitia FFI 1973, karena membutuhkan waktu panjang. FFI 2008 Bandung yang didamba Arman Effendy berlalu tanpa kepastian tentang Piala Citra kebanggaannya. Bahkan, hingga sang aktor legendaris Garut wafat (2012), panitia FFI tidak pernah mengusik keberadaan Piala Citra di rumah aktor film kelahiranGarut (12 Agustus 1938) ini,

Semasa masih aktif sebagai guru Sekolah Rakyat (SR) di Garut Timur, mantan biduan dan pimpinan Orkes “Dendang Kelana” (1956) ini merintis karier sebagai figuran film “Panggilan Tanah Sutji” (1961) karya (alm) Asrul Sani, di Garut. Tiga tahun kemudian Pak Guru yang dalam kesehariannya populer dengan nama Asep Efendy, terpilih sebagai pemeran pembantu utama pria mendampingi (alm) Wahab Abdi, (alm) Soekarno M Noor, dan (alm) Rita Zahara dalam film “Anak-Anak Revolusi” (1964) karya Usmar Ismail. Tokoh perfilman nasional itu pula, yang mengganti nama aslinya, Achmad Effend, menjadi Arman Effendy. ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *