GAPURANA

Masih Perlukah Diskusi Buku

index

Oleh : Salman Al Faridi

Beberapa pekan yang lalu saya diundang hadir dalam diskusi peningkatan minat baca dengan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Yogyakarta. Inti diskusi ini adalah ajakan kepada para penerbit untuk turut serta menggawangi acara yang rencananya dihelat selama 5 hari dengan total 10 diskusi dari penerbit yang berbeda. Bentang Pustaka ikut ambil bagian dan menghadirkan penulis muda asal Magelang, Agus Mulyadi, penulis Jomblo Tapi Hafal Pancasila, penulis muda berbakat yang beberapa waktu lalu sempat populer karena jasa edit foto bareng artis.

Diskusi buku bagi saya, sebenarnya, selalu menyimpan dilema.Pertama, dari sisi yang sangat positif, diskusi buku adalah cara penerbit danpenulis untuk mengenalkan karya kepada publik dalam bentuk percakapan yang intim diimbuhi tanya jawab yang membuka simpul-simpul kreativitas gagasan penulis yang menarik bagi pembaca. Akan tetapi, yang selalu menjadi kekhawatiran saya adalah soal kedua. Peserta diskusi buku tampaknya semakin lama semakin surut. Masih perlukah buku didiskusikan?

Sampai sejauh ini saya sudah terlibat dalam ratusan diskusi buku, dengan sejumlah pengalaman yang bervariasi, dari yang hanya dihadiri beberapa orang saja sampai ribuan orang dalam satu acara. Namun, sejujurnya, hanya sedikit penulis saja yang dapat menjadi magnet mendatangkan pembaca tanpa diminta. Untuk sebagian besar penulis lainnya, mendatangkan peserta dalam jumlah signifikan adalah perjuangan yang luar biasa. Hal ini akan tampak relevan ketika mempromosikan penulis debut misalnya.

Mari kita mulai dari kampus, tempat siswa berstatus maha dan menjadi pelajar dengan status paling tinggi. Saya mencatat beberapa perbedaan menarik jika dihitung dari masa-masa awal saya kuliah sampai awal tahun2000-an. Kegiatan kampus dalam format diskusi buku selalu menarik minat mahasiswa. Berapa pun banyaknya acara yang digelar oleh unit kegiatan mahasiswa yang berbeda-beda, selama masih menyoal buku, mahasiswa akan selalu menyemut mendatangi acara. Akan tetapi, dewasa ini mengumpulkan mahasiswa dalam sebuah diskusi buku bukan lagi menjadi hal mudah. Apakah mahasiswa sudah pula berhenti membaca?

Mungkin bukan salah pembaca, tetapi salah penerbit menghasilkan produk bermutu. Pernyataan ini pernah saya dengar ketika pembaca mengeluhkan betapa seringnya tertipu membeli buku yang terlihat menarik denganjudul provokatif dan desain sampul yang menggoda, namun isinya tak bisa dinikmati sama sekali. Jika konten berupa fiksi, ceritanya tidak menarik. Jika isi buku berupa nonfiksi, banyak bab yang rancu dan terkesan hasil menyalin begitu saja dari tulisan utuh entah di mana lalu dijadikan buku. Saya kira ini perlu jadi perhatian penerbit.

Adalah tugas penerbit memastikan produk buku yang dihasilkan memiliki kualitas yang tinggi. Akan tetapi, kenyataannya seringkali buku bagus juga malah tidak laku. Bahkan di antara penerbit seringkali menjadi bahan guyonan kalau buku bagus identik dengan buku tidak laku. Buku bagus malah susah mendapatkan pembacanya, bahkan ketika bergerilya diskusi dari tempat ke tempat,peserta diskusi tak lagi seheboh dulu.

Mungkin ada banyak hal yang perlu diantisipasi. Pertama,bisa saja kampus atau sekolah bukan lagi tempat menarik untuk diskusi buku. Melihat menjamurnya warung dan kafe yang diminati pelajar dewasa ini, tempat diskusi pun seharusnya berubah ke wilayah-wilayah tempat komunitas berkumpul. Kedua, sangat mungkin serbuan perangkat pembaca buku elektronik sekaligus telepon pintar yang sekarang semakin terjangkau dan mudah diakses memengaruhi pola konsumsi membaca.

Dengan kedua asumsi tadi, diskusi buku yang keren tak lagi dibatasi oleh tempat. Terlebih harus diadakan di kampus, di sebuah ruangan yang terasa sangat serius. Kafe, tempat ibadah, taman kota, selasar mall, function room toko bisa diubah jadi ajang diskusi. Saya teringat sebuah diskusi buku di Darwin, Australia, yang digelar persis di bawah pohon rindang, dengan beberapa penulis membacakan paragraf-paragraf novel yang memerah emosi. Lalu, format diskusi bisa saja menggunakan livestreaming dan atau live diyoutube misalnya. Fasilitas semacam soundcloud sering kali digunakan untuk format berbagi antara artist dan audience. Dengan cara yang sama penulis dan penerbit bisa merekam diskusi buku untuk dibagi dan didengarkan oleh pembaca baru yang hidup, tumbuh dan tidur tak pernah lepas dari gadget.

Mungkin saya keliru, bukan peserta diskusi yang surut,tetapi penerbit terlambat mengantisipasi tumbuhnya generasi baru pembaca yang tak lagi berkumpul secara fisik di sebuah tempat. Yang jelas, ikhtiar saya dengan pembaca buku sekarang ini diarahkan menjadi acara yang sangat intim. Dalam sebuah acara yang menghibur, suasana yang cair sembari mendengarkan dendang musisi dan berkawan angkringan dan tak lupa menekan tombol off gadget masing-masing. Mari merayakan buku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *