SENI HIBURAN

Menapak Jejak Rhoma Irama : Perlawanan Sikap Melawan Angka 13

Potret kenangan perjumpaan Oma Irama dan Yoyo Dasriyo, 3 September 1975, di Gedung “Sumbersari” Garut. Perbincangan di pentas, seusai pergelaran “Malam Begadang” (Foto: Cang Anwar)
Potret kenangan perjumpaan Oma Irama dan Yoyo Dasriyo, 3 September 1975, di Gedung “Sumbersari” Garut. Perbincangan di pentas, seusai pergelaran “Malam Begadang”
(Foto: Cang Anwar)

Menapak Jejak Rhoma Irama: Bagian  (3)

Oleh: Yoyo Dasriyo

Dalam waktu relatif singkat, Oma Irama menuai julukan sebagai tokoh pembaharu musik dangdut, yang menggebrak musik Indonesia dengan formula ramuan aroma rock dan musik dendangnya. Oma dan “Soneta” menawarkan warna lain. Dangdut dinamis dan energik. Bangunan komposisi musiknya menembus selera gedongan. Dendang lagunya yang manis, komunikatif dan harmonis, membangun keragaman baru dengan karakteristik tersendiri. Oma sukses membuka kebaruan kiblat musik dangdut, dalam segala aspek musikalnya.

Benar, saya bukan penggemar fanatik lagu dan musik dangdut. Namun 3 September 1975, “booming” lagu “Begadang” mengusik saya memburu Oma Irama, yang menggelar pentas “Malam Begadang” di Gedung “Sumbersari” Garut. Saya menenteng kamera Canonet QL-17. Hadir ke gedung pun setengah hati! Bukan apa-apa, tetapi karena tak punya keyakinan liputan pentas musik dangdut menarik dimuat di Majalah musik “AKTUIL” Bandung, tempat saya bekerja, yang sarat dengan pemberitaan musik luar negeri. Liputan pentas musik dangdut, dimungkinkan melawan arus!

Itu sebabnya, saya lebih terpanggil menjumpai (alm) Veronica. Isteri Oma Irama ini lebih berpotensi dimuat di “Aktuil” yang bergengsi dalam pemberitaan musik, karena Veronica pernah berjaya sebagai “primadona” grup band wanita “The Beach Girls”. Saya berhasrat menulis Oma Irama di mata isterinya. Dari sosok Veronica, menjanjikan banyak hal menarik untuk diungkap. Namun malam itu, belum terbuka kemungkinan jumpa Veronica, karena saya langsung hadir dalam keremangan gedung pergelaran Soneta. Atmosfer Gedung “Sumbersari” sesak dengan luapan massa.

Oma Irama dan “Soneta Grup” beraksi, bersama Elvy Sukaesih, dan Neneng Susanti penyanyi pendamping mereka. Di belakang Oma, aksi para pemain Soneta masih sederhana. Musik dangdut membahana. Oma mendendang lagu ”Begadang”. Namun memasuki awal bait kedua lagu pembukanya, listrik mendadak mati.. Massa penonton bersabar, menunggu Oma mengulang lagi lagunya, bersambut “Dewa Amor”, dan “Gelandangan”. Neneng Susanti mendendang lagu “Jam Lima” dan “Warung Pojok”.

Pentas dangdut menghangat dengan aksi menggemaskan dari Elvy Sukaesih berlagu “Jangan Dulu”, “Kuda Lumping”, “Tali Merah” dan “Sampai Besok Pagi”. Duet Oma & Elvy berlagu “Berjoget”, “Ke Monas” “Tung Keripit”, “Mandul” dan”.”Bosan”, mengunci pergelaran “Soneta Grup”. Di saat para penonton berhamburan meninggalkan gedung, saya bergegas memburu Oma ke atas pentas. Sang “panglima” Soneta yang masih bermandikat keringat. tersenyum ramah. Saya perkenalkan diri sebagai wartawan Majalah AKTUIL Bandung. Oma pun sedia untuk wawancara.

Penyanyi dangdut dan pimpinan “Soneta Grup” itu melepas lelah, sambil menghisap rokok kretek kesukaannya. Penampilannya berambut ikal panjang, dan terurai tebal melintas bahu. Kostum pentasnya warna gelap diwarnai ornamen yang memantulkan kilatan cahaya. Celana hitamnya model cut-bray, dan sepatu dengan hak tinggi. Saya sendiri masih berambut gondrong, dan bercelana cut-bray. Memang itu trend awak Majalah “Aktuil”, seperti juga Remy Silado, (alm) Denny Sabri, Man HS, Maman Sagt serta Bens Leo.

Kami duduk berhadapan di atas kursi beralas kayu. Saya hanya menyiapkan alat tulis sebuah buku wawancara. Cang Anwar, rekan fotorgrafer, segera memotret perjumpaan awal itu. Baru saya tahu, tutur bicara Oma tidak selantang suara dalam nyanyiannya. Suara pembaharu musik dangdut ini, cenderung mengalir lirih tanpa hentakan emosi. Musik dangdut, yang semula tidak diminatinya, lalu jadi media untuk mengekspresikan kekayaan kreasi bermusik, dan karya cipta lgu-lagunya.

“Mungkin lantaran pengaruh lingkungan juga! Saya tinggal di Bukit Duri, dan hampir setiap malam teman-teman saya di sana suka nyanyi-nyanyi dengan musik dangdut. Eh didengar-dengar memang meresap juga. Akhirnya saya bertekad buat menegakkan jenis dangdut ini. Saya bentuk ‘Soneta’, saya berusaha mencari diri di sana” Oma Irama tertawa kecil. Uniknya, Oma memilih angka 13 untuk pembentukan “Soneta Grup”. Tepat 13 Oktober 1973. “Saya ‘nggak percaya kalau angka tigabelas itu, dianggap orang sebagai angka sial! Itu benar-benar tahayul…!” tandasnya kemudian.

Keyakinan itu, lalu dikuatkannya dengan kenyataan sukses di arena festival. “Waktu saya menang sebagai Juara Festival Pop Singers – Asia Tenggara di Singapore, saya tampil dengan nomer undian 13. Jadi, angka 13 itu sama dengan angka-angka lainnya. Tapi orang sudah terlanjur menganggap angka 13 itu sial. Bahkan, sampa ke seluruh penjuru dunia. Tidak pernah ada satu kamar hotel pun, yang bernomer 13. Kalau nggak 12A, langsung saja nomer 14! Saya jadi ketawa. Kenapa mereka percaya dengan tahayul..? Saya pikir, kita ini seperti hidup di zaman jahiliyah modern. Astaghfirullahal adzim…” Oma bergeleng kepala.
( Bersambung )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *